JAKARTA, KOMPAS.com — Musim giling tebu tahun 2025 yang dimulai sejak Mei 2025 tidak memberikan dampak positif bagi petani tebu di berbagai daerah.
Meski produksi gula kristal putih (GKP) meningkat dan mendekati target swasembada gula konsumsi nasional, serapan pasar justru melemah.
“Stok GKP milik petani masih menumpuk karena pasar lesu. Setiap lelang gula sepi penawaran, menyebabkan harga tak menentu dan pendapatan petani terganggu,” kata Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sunardi Edy Sukamto, dalam keterangan tertulis, Minggu (21/9/2025).
Baca juga: Tetes Tebu Menumpuk di Pabrik, Komisi IV DPR: Impor Etanol Harus Dihentikan
Ilustrasi gula. Batas konsumsi gula harian.Salah satu penyebab lemahnya serapan pasar adalah praktik penjualan langsung gula rafinasi ke pasar konsumsi, yang semestinya dilarang.
Gula rafinasi seharusnya hanya untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.
Menghadapi situasi ini, beberapa langkah penyerapan telah dilakukan oleh berbagai pihak. PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), salah satu BUMN gula, turut melakukan penyerapan gula dari petani.
Selain itu, pemerintah melalui BUMN pangan Danantara telah mengalokasikan anggaran Rp 1,5 triliun, di mana Rp 900 miliar di antaranya ditujukan khusus untuk membeli 62.141 ton gula petani di bawah naungan PT SGN.
Baca juga: Proyeksi Produksi Gula Kristal Putih Sentuh 777,6 Ribu Ton Bulan Ini
Hingga pertengahan September 2025, baru sekitar 21.500 ton yang berhasil diserap.
Perusahaan lain seperti PT PIR (Gulavit) juga disebut konsisten menyerap gula petani, seperti tahun-tahun sebelumnya. Pedagang lokal di Jawa Timur turut ambil bagian melalui lelang rutin.
“Atas penyerapan yang telah dilakukan, kami menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya,” ujar Edy.
Namun, ia mengingatkan, realisasi serapan oleh BUMN pangan ID Food justru berjalan lamban, dan membuat pedagang enggan masuk ke pasar.