SEMARANG, KOMPAS.com – Bagi Febri Ramdani, tahun 2016 menjadi masa penuh luka dan perjuangan.
Dengan tekad kuat, Febri, sapaan akrabnya, nekat menyusul ibu dan keluarga besarnya yang terjerat propaganda kelompok ISIS di Suriah.
Febri menempuh perjalanan penuh risiko, menyusul keluarganya yang lebih dulu meninggalkan Indonesia pada 2015.
Namun, sesampainya di sana pada 2016, Febri menyadari bahwa janji-janji kelompok tersebut hanyalah ilusi.
"Pas saya sampai sana, justru menjadi beban baru bagi keluarga saya. Karena jadi ada penambahan biaya dan segala macam. Akses untuk kabur dari sana semakin sulit, karena kita akan dianggap murtad dari agama Islam," ucap Febri kepada KOMPAS.com, Senin (2/6/2025).
"Terus yang keluar dari kelompok mereka, dianggap tidak sesuai jalannya lagi. Jadi kita sempat diincar oleh orang-orang tersebut," sambungnya.
Baca juga: Pentingnya Trauma Healing bagi WNI Eks Konflik Suriah...
Febri menjelaskan, kepergian ibunya ke Suriah dipicu narasi manis kelompok terorisme.
Sang ibu, mantan ASN, merasa kecewa dengan maraknya korupsi dan ketidakadilan di Indonesia.
Ia juga ingin menemani anak sulungnya yang menderita TBC tulang untuk berobat gratis di Suriah.
Masalah keluarga turut mendorongnya menerima tawaran kelompok tersebut.
Namun, keadaan di Suriah ternyata tak semanis yang dibayangkan. Febri dan keluarganya terjebak di sana hingga ratusan hari, tanpa akses untuk kembali ke tanah air.
"Tapi akhirnya alhamdulillah kita bisa pulang dan kembali lagi ke Indonesia. Kita menyerahkan diri ke Syrian Democratic yang di bawah naungan Amerika Serikat. Selama dua bulan di situ, kita menunggu proses repatriasi kembali ke Indonesia," ucap Febri.
Baca juga: Kondisi Terkini Ratusan WNI eks ISIS di Suriah, BNPT: Kurang Layak Secara Kemanusiaan
Setiba di Indonesia, Febri menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Namun, ia memilih bangkit dan menyuarakan pesan damai.
"Kita mencoba lagi untuk berintegrasi ke masyarakat, memulai hidup lagi dari awal. Kita mencoba untuk survive, dan alhamdulillah tantangan atau stigmatisasi secara verbal itu tidak pernah kami dapatkan secara langsung," ujarnya.
Febri juga menyebut pemerintah Indonesia memberi dukungan positif untuk proses reintegrasi.