SEMARANG, KOMPAS.com – Pengamat politik UIN Walisongo, Nur Syamsudin, menilai penerapan pajak penghasilan (PPh) progresif bagi kelompok orang kaya di Indonesia dapat menjadi salah satu solusi signifikan untuk memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa harus menambah beban masyarakat kecil.
Dia menuturkan bahwa sekitar 80 persen kekayaan nasional terkonsentrasi pada 1 persen kelompok masyarakat kaya.
Namun, regulasi pajak penghasilan belum menyentuh secara spesifik kelompok tersebut.
“Kalau pajak orang kaya ukurannya 40 persen, itu sudah sangat besar sekali. Coba kita hitung, 9 atau 10 orang terkaya saja nilai kekayaannya sekian triliun. Belum lagi lapisan di bawah mereka kan sangat besar. Itu jelas bisa menambah pendapatan negara,” ujar Nur saat dikonfirmasi, Senin (8/9/2025).
Baca juga: Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor
Nur menyoroti praktik kebijakan itu di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, yang menerapkan tarif pajak penghasilan bagi orang kaya mencapai 40–50 persen.
Hal ini tidak menghilangkan hak kepemilikan, tetapi memberikan ruang negara untuk mempercepat pembangunan.
“Dengan begitu, APBN bisa lebih kuat tanpa harus berutang atau membebani rakyat kecil lewat pajak konsumsi seperti PPN atau PBB,” kata Dosen FISIP UIN Walisongo itu.
Dia menambahkan, pengaturan pajak di Indonesia lebih banyak menyasar pegawai pemerintah atau karyawan bergaji tetap.
Sementara pengusaha besar dikenakan pajak usaha, bukan penghasilan pribadinya.
Padahal, dia mencontohkan, perusahaan di sektor migas hanya menyumbang 10 persen dari PPh hasil usahanya ke APBN.
Angka itu dinilai jauh di bawah potensi pajak pribadi para pemilik modal.
"Tetapi kan mereka mendapatkan kekayaan sebesar itu dari bumi dan alam Indonesia. Jadi mesti ada timbal baliknya. Toh dengan adanya pajak penghasilan bagi orang kaya itu juga akan memberikan sisi sosial yang tinggi kepada masyarakat. Sehingga ada apresiasi masyarakat terhadap mereka yang memang berpenghasilan tinggi," imbuhnya.
Lebih jauh, ia juga menyoroti kontribusi sumber daya alam (SDA) terhadap APBN yang masih relatif kecil, tidak lebih dari 10 persen.
Padahal, Indonesia memiliki potensi besar dari komoditas seperti sawit, nikel, bauksit, timah, dan tembaga.
“Kalau dimaksimalkan, itu bisa sangat besar. Sayangnya, harga misalnya CPO (crude palm oil) justru masih dikendalikan Malaysia. Ini ironis, mengingat Indonesia adalah produsen terbesar,” ucapnya.
Terkait wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, Nur menilai kebijakan itu penting untuk mengembalikan uang hasil korupsi kepada negara.
“Kalau aset dirampas, jangan sampai tidak jelas arahnya. Harus benar-benar kembali ke negara. Kalau tidak diawasi, masyarakat tidak akan merasakan manfaatnya,” tegasnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini