KOMPAS.com - Kota Solo diguyur hujan deras disertai angin kencang pada Jumat sore (31/10/2025).
Cuaca ekstrem itu meluluhlantakkan sebagian kawasan Taman Parkir Kompleks Masjid Agung, meninggalkan jejak puing dan air yang menggenang.
Di antara reruntuhan kayu dan atap yang ringsek, seorang perempuan berkerudung berdiri termenung, Waljyah, 53 tahun, pemilik warung makan sederhana yang sudah berdiri di lokasi itu selama tiga dekade.
Dapat Kabar Warung Hancur Via Telepon
Hari itu, Waljyah seharusnya beristirahat di rumah. Ia tengah libur tiga hari untuk menyiapkan hajat pernikahan anaknya yang akan digelar akhir pekan ini.
Namun, sore itu telepon dari rekan sesama pedagang mengubah segalanya.
“Saya ditelepon katanya warungnya hancur, terus saya ke sini. Kebetulan lagi libur tiga hari karena besok Minggu rencananya mau punya hajat,” ujarnya lirih saat ditemui di lokasi.
Saat tiba, pandangannya langsung tertuju pada puing-puing yang berserakan.
Atap warung yang baru saja ia perbaiki kini hancur tak berbentuk. Besi-besi penyangganya bengkok, dan meja-meja makan berserakan di tanah yang becek.
“Kenyataannya ya sudah begini, hancur. Padahal itu baru, atapnya baru diganti besi-besi. Kalau dihitung-hitung kerugian sekitar Rp 10 jutaan,” ungkapnya dengan nada pasrah.
30 Tahun Mengais Rezeki di Kompleks Masjid Agung
Selama 30 tahun, Waljyah berdagang di kawasan Masjid Agung.
Warungnya yang menjual menu prasmanan rumahan menjadi tempat makan langganan para pekerja dan pengunjung Pasar Klewer yang letaknya tak jauh dari situ.
“Alhamdulillah, bisa buat kebutuhan keluarga. Saya juga punya beberapa karyawan, kebanyakan janda, jadi kasihan kalau enggak kerja,” ucapnya sambil menatap puing warungnya.
Bagi Waljyah, warung itu bukan sekadar tempat berjualan. Di sanalah ia membesarkan anak-anaknya, menyekolahkan mereka, dan berbagi rezeki dengan para karyawan yang sudah dianggap keluarga.
Kini, semua tinggal kenangan. Sisa genteng dan kayu masih berserakan di tanah, di antara aroma tanah basah dan kabel listrik yang belum sempat dibersihkan.
Pasrah, Tapi Tak Menyerah
Meski dilanda kesedihan, Waljyah tak ingin berlarut dalam duka.
Ia tahu, satu-satunya cara untuk bertahan adalah bangkit kembali.
“Kalau nanti dapat bantuan atau ganti rugi, ya secepatnya pengin jualan lagi. Tapi untuk sekarang, fokus dulu karena minggu ini anak mau menikah,” katanya.
Ia berharap pemerintah bisa memberikan bantuan agar warungnya dapat dibangun ulang.
“Harapannya mudah-mudahan ada bantuan dari pemerintah, biar bisa memperbaiki warung dan mulai jualan lagi,” tutupnya pelan.
Di wajahnya, tersisa senyum kecil yang berusaha menutupi duka.
Bagi Waljyah, kehilangan tempat berdagang berarti kehilangan sebagian hidupnya.
Namun, ia percaya, rezeki tak akan pernah benar-benar hilang, hanya berpindah tempat sementara.
Evakuasi dan Dampak Kerusakan akibat Hujan Badai di Solo
Petugas dari BPBD Kota Solo, Damkar, dan Dinas Lingkungan Hidup segera turun tangan membersihkan reruntuhan ranting besar yang menimpa warung Waljyah.
Selain warungnya, enam sepeda motor yang terparkir di sekitar lokasi juga ikut rusak tertimpa dahan pohon, sementara trafo listrik di dekatnya harus diperbaiki oleh petugas PLN.
Kapolsek Pasar Kliwon, AKP Amiruddin Zulkarnaen, memastikan penanganan berlangsung cepat.
“Respon cepat dari petugas, langsung melakukan evakuasi,” ujarnya.
Hujan sore itu telah reda. Namun bagi Waljyah, badai sesungguhnya baru saja dimulai, badai yang mengguncang kenangan, kerja keras, dan harapan selama 30 tahun berjualan di bawah rindangnya pohon trembesi Masjid Agung Solo.
Sebagian artikel ini telah tayang di KOMPAS.com dengan judul "30 Tahun Berdagang, Warung di Masjid Agung Solo Hancur Diterjang Bencana".
https://www.kompas.com/jawa-tengah/read/2025/10/31/192709988/ditinggal-libur-3-hari-waljyah-kaget-warungnya-yang-30-tahun-berdiri