Evaluasi 100 Hari jamak dilakukan untuk menilai kinerja para pemimpin politik.
Saking rutinnya, kerap menjadi ritual belaka yang jatuh dalam dua ekstrem: puja puji dan caci maki.
Keduanya menjauh dari hakikat menagih janji yang terukur dan objektif.
Termasuk cara kita memperlakukan hasil survei yang seolah mengunci dalam adu balap yang melupakan esensi politik desentralisasi dan kerja-kerja kolektif yang justru menjadi ciri Indonesia.
Baca juga: Demokrat Jakarta Berikan 5 Catatan Program 100 Hari Kerja Pramono-Rano
Saya tak mau berlagak serba beda dan sok tahu. Maka saya membatasi diri membahas capaian 100 Hari Mas Pram-Bang Doel, hanya karena saya ada pada jarak cukup dekat ketika membantu menyiapkan berbagai koordinasi dan strategi mewujudkan janji kampanye saat Tim Transisi, dan berlanjut kini saat mendampingi keduanya sebagai salah satu koki di dapur kebijakan Balai Kota.
Sejak awal, saya merasa nyaman membantu karena kedua pemimpin baru Jakarta ini menegaskan sudah selesai dengan dirinya, akan fokus melayani warga Jakarta, dan tak pernah mengobral janji-janji muluk.
Mereka realistis dengan kompleksitas Jakarta, tingginya ekspektasi publik, dan kesadaran bahwa Jakarta adalah barometer ekonomi-politik nasional.
Maka, menunjukkan komitmen untuk bekerja adalah modal awal yang dianggap cukup.
Keberanian untuk tak populer ditunjukkan secara otentik. Ia lebih suka mengejar pajak orang mampu ketimbang memutihkannya.
Setiap Rabu, ia mengajak dan memberi contoh penggunaan moda transportasi publik.
Baca juga: 100 Hari Kerja Pramono-Rano, Warga Minta Layanan Transportasi Ditingkatkan
Jakarta sudah memiliki sejarah panjang membangun dan menghidupi pasang surut sosial-politik sebagai ibu kota republik, hingga kini disiapkan menjadi pusat bisnis yang berstandar global.
Yang padanannya bukan lagi Bandung, Medan, atau Surabaya, melainkan Singapura, Bangkok, Tokyo, dan Shanghai.
Berbagai program unggulan dan torehan prestasi para pendahulu dan sinergi dengan Pusat pun amat nyata, hingga tak perlu sibuk menawarkan program baru yang tampak sekadar kosmetik.
Mas Pram adalah politisi senior yang sangat matang. Di usia muda sudah dipercaya menjadi Sekretaris Presiden Megawati sekaligus Sekjen PDI-P.
Lalu menjadi anggota dan pimpinan DPR sebelum hampir dua periode menjadi Sekretaris Kabinet.
Saya perlu menyebut lugas senior dan matang, karena kedua ciri itu amat nyata pada pribadi Mas Pram. Ia tak pernah meledak-ledak, reaktif, atau emosional terhadap satu fenomena.
Baca juga: 100 Hari Pramono-Rano, PSI Jakarta Apresiasi Program Transportasi Gratis
Biasanya, ia tertegun dalam diam saat ada hal yang mengusik. Tampaknya, secara spontan, ia memilih berpikir ketimbang bereaksi.
Sikap itu pula yang tampak dalam rapat-rapat internal yang efektif, tanpa perlu tumbal untuk dihardik demi kesan tegas.
Ketika ditawarkan memanfaatkan satu momen untuk pencitraan, tegas ia menampik. Sekali lagi, dia memilih menunjukkan kesungguhan bekerja untuk warga.
Sedikit tentang Bang Doel. Dalam pandangan saya, ia lebih spontan dan impulsif.
Ia tampil apa adanya, kadang meledak meski lebih banyak canda tawa.
Bang Doel gampang terusik oleh ketidakadilan, pelanggaran, atau ketidakberesan.
Saya melihat mantan aktor legendaris ini pembelajar yang tekun. Banyak isu baru dan berat ingin diketahui dan dicari solusinya.
Pengalaman menjadi kepala daerah dan anggota DPR tentu amat penting membentuk kepemimpinan Bang Doel.
Bagi saya, beliau adalah abang yang penuh perhatian dan kawan diskusi yang sangat menyenangkan.
Baca juga: Fraksi PDI-P Apresiasi Program 100 Hari Pramono–Rano, tapi Dorong Percepatan Implementasi
Duet pemimpin baru Jakarta ini menyadari sepenuhnya memimpin Jakarta di saat seperti ini sungguh tak mudah.
Maka, sejak awal, gesture yang dibangun adalah keinginan menjaga hubungan baik dan sinergi dengan Pusat.
Kontestasi politik sudah usai. Kini saatnya berkolaborasi. Tak mungkin ada orang yang bisa sukses sendiri.
Lantas, modalitas apa yang dibangun Mas Pram-Bang Doel?
Pertama, bekerja dengan sistem. Sejak awal Mas Pram menegaskan akan bekerja dengan ASN Jakarta. Dia tak akan membawa ASN dari luar untuk menjadi pejabat Pemprov Jakarta.
Mas Pram sangat percaya pada sistem yang rekam jejaknya cukup panjang selama memimpin Setkab. Dia sadar birokrasi adalah mesin yang mesti dirangkul dan diarahkan, bukan untuk dicurigai dan dimusuhi.
Dengan mekanisme dan arahan yang jelas, dibangun sinergitas bukan rivalitas.
Kantor Gubernur juga bukan ruang eksklusif melainkan menjadi rumah bersama, yang disediakan untuk beraudiensi dengan banyak sekali tamu dari beragam latar belakang.
Birokrasi adalah mesin utama yang dipercaya untuk bekerja, dibantu para Stafsus dan Tenaga Ahli untuk memastikan akselerasi dan fokus pada program prioritas.
Rapat rutin dilakukan untuk membahas hal strategis hingga teknis. Semua arahan dan keputusan diambil secara terbuka.
Salah satu bukti, penyusunan RPJMD secara teknokratik dan partisipatoris, dalam arti meracik visi misi dan program Gubernur-Wakil Gubernur dalam kerangka pikir Asta Cita yang koheren dan sinergis, yang dibahas secara elegan dengan DPRD DKI Jakarta sebagai representasi rakyat.
Baca juga: 100 Hari Kerja Pramono-Rano, PSI Kritik Job Fair Jakarta Belum Optimal
Kedua, kolaborasi dengan pemangku kepentingan.
Kematangan Mas Pram ditunjukkan dengan kepiawaian mengelola dinamika politik. Residu kontestasi politik tak perlu menjadi sentimen yang negatif dan subyektif.