
PADA Januari 2020, Indonesia resmi memberlakukan larangan total ekspor bijih nikel setelah lebih dari lima dekade mengekspor nikel mentah (nickel ore) ke pasar dunia.
Ekspor tersebut banyak digunakan untuk melayani permintaan bahan baku pembuatan Nickel Pig Iron (NPI) untuk baja tahan karat (stainless steel).
Tentu tujuan larangan itu adalah menciptakan nilai tambah sebagai bagian dari “proyek hilirisasi” pemerintah yang dalam cetak biru berambisi menjadikan Indonesia sebagai pemain global di rantai pasok baterai electric vehicle (EV).
Harapannya berdampak pada pertumbuhan PDB, pembukaan lapangan kerja dan menambah penerimaan negara, baik melalui royalti, pajak, maupun devisa ekspor.
Dalam bahasa ideologis, hilirisasi sumber daya termasuk nikel, untuk mencapai cita-cita besar yang selalu diganungkan, yakni mewujudkan “kedaulatan dan kemandirian” energi nasional.
Apalagi nikel masuk dalam kategori logam kritis global yang sangat penting untuk menjadi “katalis” menuju transisi energi bersih terutama menjadi bahan baku utama baterai lithium-ion, khususnya untuk baterai berkatoda Nickel-Cobalt-Manganese (NCM) dan Nickel-Cobalt-Aluminum (NCA).
Dengan menguasai lebih dari 40 persen cadangan dunia, Indonesia tentunya memiliki posisi tawar strategis dalam rantai pasok energi bersih global.
Baca juga: Pelajaran dari China: Kereta Cepat Laju Tinggi, Beban Berat
Namun, mengelola sumber daya alam bukan hanya terkait “keuntungan ekonomis semata”, tapi juga ada dimensi geopolitik.
”Bapak geopolitik” Halford Mackinder pada 1904 menyebut kawasan “heartland” yang kaya sumber daya alam akan menjadi pusat perebutan kekuatan global.
Dengan nada sama, Friedrich Ratzel dengan pendekatan “determinisme geografis” menyebut sumber daya alam sebagai “energi vital” bagi negara, yang seringkali menjadi alasan utama negara melakukan ekspansi dan kolonialisme.
Menurutnya, negara layaknya “organisme yang hidup” yang harus memperluas wilayah untuk bertahan hidup.
Begitu juga dengan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, ia bisa menjadi berkah yang menambah kekayaan dan menciptakan kesejahteraan.
Sebaliknya, bisa juga menjadi “tantangan” yang jika dikelola tanpa mempertimbangkan aspek “lingkungan strategis”, maka menjadi risiko, bahkan bencana geopolitik.
Pascapemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah, ada tantangan pembangunan industri teknologi pengolahan layaknya refinery dan smelting.
Selain membutuhkan modal, juga butuh kesiapan kapasitas teknologi dan inovasi yang kuat untuk menghasilkan nikel kelas 1 atau nikel sulfat yang dapat digunakan sebagai bahan utama penyusun prekursor katoda baterai kendaraan listrik. Maka investasi asing menjadi pilihan.