Sengketa Crimea juga menyangkut identitas etnis yang telah lama menghuni wilayah tersebut, yaitu komunitas Tatar Crimea. Kelompok Muslim Turkiye ini telah tinggal di kawasan itu sejak abad ke-15.
Namun, sejarah mereka penuh penderitaan. Setelah Rusia menguasai Crimea pada 1783, komunitas ini menghadapi penindasan dan deportasi, terutama pada masa pemerintahan Joseph Stalin tahun 1944.
Kini, sekitar 76 persen dari 2,2 juta penduduk Crimea merupakan penutur bahasa Rusia. Sementara, populasi Tatar menyusut menjadi sekitar 13 persen.
“Ini bukan hanya soal tanah. Jika kita tidak berjuang secara politik untuk Crimea, itu berarti kita membiarkan pembunuhan, pengubahan hukum geopolitik, pencurian tanah, dan perang menjadi hal yang sah,” ujar seorang aktivis Tatar Crimea berusia 30 tahun yang tak ingin disebutkan namanya demi keselamatan keluarganya.
Bagi banyak warga Tatar, kembalinya Crimea ke Ukraina adalah harapan yang terus menyala, terutama karena memori pahit deportasi masih membekas.
Baca juga: Kenapa Rusia dan Ukraina Perang, Termasuk Berebut Crimea?
Pada 1954, Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev menyerahkan Crimea kepada Republik Soviet Ukraina. Setelah Uni Soviet pecah pada 1991, wilayah tersebut menjadi bagian dari Ukraina merdeka.
Namun, pada 2014, Putin memutuskan untuk mencaplok Crimea sebagai bentuk koreksi atas "kesalahan sejarah". Ia bahkan pernah menyebut bubarnya Uni Soviet sebagai bencana geopolitik terbesar abad ke-20.
“Bagi sebagian besar warga Rusia, baik yang mendukung maupun menentang Putin, Crimea tetaplah milik Rusia. Saat saya tinggal di Moskwa saat aneksasi terjadi, banyak orang merayakan sepanjang malam,” ujar Mark Galeotti, Direktur konsultan Mayak Intelligence.
Kendati begitu, mayoritas negara di dunia mengecam pencaplokan itu sebagai tindakan ilegal. Hanya segelintir negara, seperti Korea Utara dan Sudan, yang menyatakan dukungan terhadap Rusia.
Pada 2018, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan bahwa Washington tidak mengakui aneksasi Crimea. Namun, pernyataan Presiden Trump kemudian bertolak belakang.
“Crimea akan tetap bersama Rusia,” ujarnya kepada majalah Time awal 2025.
Presiden Zelensky tetap memegang prinsip bahwa tidak ada kompromi mengenai Crimea. Konstitusi Ukraina Pasal 2 menegaskan bahwa batas wilayah negara hanya dapat diubah melalui referendum yang disetujui parlemen dan hal ini tidak mungkin dilakukan selama status darurat militer masih berlaku.
“Crimea adalah ujian bagi prinsip, ketahanan, dan martabat. Tidak hanya bagi Ukraina, tetapi juga bagi seluruh dunia yang beradab,” tutur aktivis Tatar Crimea yang sama.
Baca juga: Ukraina Tolak Usul AS Lepas Crimea, Rusia Langsung Rudal Kyiv
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini