
GENERASI Z tumbuh di era digitalisasi masif, dominasi media sosial, serta krisis global yang datang silih berganti.
Karakteristik lingkungan ini membentuk pola pikir kerja yang berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam memandang stabilitas, fleksibilitas, dan makna karier.
Salah satu label yang paling sering dilekatkan pada mereka adalah kecenderungan job hopping—yakni berpindah pekerjaan dengan cepat demi memperoleh fleksibilitas, imbalan finansial lebih tinggi, maupun pengalaman baru.
Akibatnya, Generasi Z kerap dipersepsikan sebagai kelompok pekerja yang sulit bertahan lama di satu tempat kerja.
Stereotip ini memperkuat citra bahwa mereka mudah bosan, cepat mengajukan resign, dan selalu terdorong untuk mencari tantangan baru.
Namun, belakangan muncul paradoks menarik. Di balik citra “mudah pindah kerja”, sebagian besar Gen Z justru terjebak dalam fenomena job hugging—bertahan lama pada posisi yang sama.
Baca juga: Biaya Keracunan MBG yang Tak Terlihat
Fenomena ini sering kali bukan karena pilihan sadar, melainkan akibat keterbatasan struktural: akses kerja sempit, jenjang karier buntu, hingga kondisi pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif.
Pada masa lalu, bertahan lama di satu posisi sering dipandang sebagai tanda loyalitas, stabilitas, dan profesionalisme. Namun, di era ketika Generasi Z mulai mendominasi angkatan kerja, makna job hugging mengalami pergeseran.
Fenomena ini menghadirkan pertanyaan penting: apakah bertahan lama di satu pekerjaan masih bisa dimaknai sebagai loyalitas murni, ataukah justru merupakan bentuk strategi bertahan dalam dunia kerja yang penuh ketidakpastian, terbatasnya mobilitas, dan semakin sempitnya peluang promosi?
Fenomena job hugging—di mana pekerja bertahan lama di satu posisi meskipun tidak puas—semakin mencuat di kalangan Generasi Z.
Namun, data statistik spesifik mengenai persentase Gen Z yang terjebak dalam job hugging di Indonesia masih terbatas. Meski demikian, beberapa indikator menunjukkan tren tersebut.
Di era Gen Z, job hugging tidak lagi bisa disamaratakan sebagai simbol loyalitas semata. Fenomena ini kerap merefleksikan kondisi struktural yang membatasi mobilitas dan pengembangan karier.
Masalah utama adalah bahwa job hugging pada Gen Z sering kali bukan pilihan sadar. Banyak dari mereka bertahan di pekerjaan kontrak, posisi administratif, atau pekerjaan serabutan dengan sedikit ruang untuk promosi dan pengembangan kompetensi.
Keputusan untuk bertahan lebih banyak dipengaruhi oleh kebutuhan stabilitas finansial dan kepastian ekonomi, meski hal itu berarti mengorbankan aspirasi profesional, pertumbuhan keterampilan, dan aktualisasi diri.
Fenomena ini jelas bertolak belakang dengan retorika umum yang menyebut Gen Z sebagai generasi “mudah resign” dan selalu mencari pengalaman baru.