Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puskep UI Sebut Kandungan Etanol di BBM Pertamina Lazim: Di Amerika dan Australia Begitu Juga

Kompas.com - 03/10/2025, 20:40 WIB
Erlangga Djumena

Editor

Sumber Antara

JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (Puskep UI) menegaskan bahwa penggunaan etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) sudah menjadi praktik umum di berbagai negara.

Direktur Eksekutif Puskep UI, Ali Ahmudi, mengatakan,  penggunaan etanol justru membawa dampak positif karena bisa membantu menekan emisi karbon dan mendukung transisi energi ramah lingkungan.

“Itu sudah lazim dipakai dan berpengaruh sangat baik untuk lingkungan, mereduksi emisi karbon, di Eropa mereka biasa gunakan 5-8 persen. Di Amerika dan Australia begitu juga. Karena ada beberapa tujuan lain, tidak semata-mata kepentingan bisnis, namun agar mengurangi minyak dari fosil,” kata Ali seperti dikutip dari Antara, Sabtu (3/10/2025).

Baca juga: Anak Buah Bahlil: Di Amerika, Shell Juga Sudah Pakai Etanol...

Menurut Ali, perusahaan-perusahaan energi di berbagai negara juga pasti ingin terlibat dalam proses transisi energi untuk mereduksi emisi dan global warming. Salah satunya, adalah menggunakan bahan bakar ramah lingkungan.

”Jadi ini sudah global, bukan lagi lokal dan regional. Dan itu dilakukan oleh Shell, Total, BP di luar negeri. Hampir semuanya,” uajr dia.

SPBU BP-AKR yang masih mengalami kekosongan stok BBM berjenis bensin pada Jumat (26/9/2025)Kompas.com/Ridho Danu Prasetyo SPBU BP-AKR yang masih mengalami kekosongan stok BBM berjenis bensin pada Jumat (26/9/2025)
Etanol 3,5 Persen Masih di Bawah Standar Global

Ali mempertanyakan alasan sejumlah SPBU swasta di Indonesia menolak BBM impor Pertamina dengan kandungan etanol 3,5 persen. Menurutnya, angka tersebut jauh di bawah standar global dan aman bagi mesin kendaraan, terutama keluaran terbaru yang dirancang lebih ramah lingkungan.

“Apalagi kendaraan 2010-an ke sini sudah relatif ramah lingkungan, teknologinya rata-rata sudah adaptif. Sudah dipersiapkan untuk itu. Justru di berbagai negara, jauh di atas 3,5 persen. Makanya kalau sebesar itu (kandungan etanol 3,5 persen) tidak masalah,” kata dia.

Menurut Ali, penolakan SPBU swasta seolah dibuat-buat. “Kalau alasan mayor, seakan-akan semua kendaraan akan rusak jika menggunakan BBM dengan etanol 3,5 persen. Kalau alasan minor, ya hanya mencari-cari alasan saja,” tegasnya.

"Bukannya negara lain juga menggunakan BBM dengan kandungan etanol, yang bisa berperan serta dalam mengurangi perubahan iklim dan emisi karbon? Nyatanya di sana aman-aman saja,” tambah dia.

Di sisi lain, Ali berharap, agar masyarakat juga teredukasi dengan baik, apalagi era media sosial seperti sekarang.

”Padahal, apa yang mereka pahami (termasuk soal etanol) belum tentu benar,” ujarnya.

Sebelumnya, Vivo dan BP-AKR yang telah sepakat membeli BBM impor dari Pertamina, namun membatalkan rencana tersebut dengan alasan mengandung etanol 3,5 persen.

Baca juga: Gara-gara Etanol, Vivo dan BP-AKR Batal Beli BBM Base Fuel Pertamina

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
IHSG Ditutup Melonjak 1,36 Persen pada 8.275, Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Sejarah Lagi
IHSG Ditutup Melonjak 1,36 Persen pada 8.275, Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Sejarah Lagi
Cuan
Perkuat Keamanan Logistik Nasional, IPC TPK Operasikan Alat Pemindai Peti Kemas di Tanjung Priok
Perkuat Keamanan Logistik Nasional, IPC TPK Operasikan Alat Pemindai Peti Kemas di Tanjung Priok
Industri
Inflasi Telur dan Daging Ayam Ras Melonjak, BPS Sebut Karena Permintaan Tinggi untuk Program MBG
Inflasi Telur dan Daging Ayam Ras Melonjak, BPS Sebut Karena Permintaan Tinggi untuk Program MBG
Ekbis
Target Swasembada Beras: Produksi Melonjak dan Tantangan Struktural
Target Swasembada Beras: Produksi Melonjak dan Tantangan Struktural
Ekbis
Menkeu Purbaya Siapkan Tarif Cukai Khusus untuk Tarik Produsen Rokok Ilegal ke Kawasan KIHT
Menkeu Purbaya Siapkan Tarif Cukai Khusus untuk Tarik Produsen Rokok Ilegal ke Kawasan KIHT
Ekbis
Jaga Daya Saing, AISA Luncurkan Kemasan Baru Salah Satu Produk Makanan Ringannya
Jaga Daya Saing, AISA Luncurkan Kemasan Baru Salah Satu Produk Makanan Ringannya
Cuan
Bank Mandiri Siap Salurkan Rp 3,22 Triliun BLTS Kesra 2025 lewat Jaringan Cabang hingga Mandiri Agen
Bank Mandiri Siap Salurkan Rp 3,22 Triliun BLTS Kesra 2025 lewat Jaringan Cabang hingga Mandiri Agen
Keuangan
Pemda Bisa Pinjam ke Pemerintah Pusat, Purbaya: Bunga 0,5 Persen
Pemda Bisa Pinjam ke Pemerintah Pusat, Purbaya: Bunga 0,5 Persen
Ekbis
Danantara: TOBA Sudah Declaire Tak Ikut Proyek Sampah Jadi Listrik
Danantara: TOBA Sudah Declaire Tak Ikut Proyek Sampah Jadi Listrik
Cuan
BEI Bakal Kirim Surat Keberatan ke MSCI soal Metode Penghitungan Free Float Saham
BEI Bakal Kirim Surat Keberatan ke MSCI soal Metode Penghitungan Free Float Saham
Cuan
DJP Bongkar Kasus Pencucian Uang Senilai Rp 58,2 Miliar
DJP Bongkar Kasus Pencucian Uang Senilai Rp 58,2 Miliar
Ekbis
QRIS Kini Bisa untuk Grab, Transaksi Digital Makin Mudah bagi Pengguna Muda
QRIS Kini Bisa untuk Grab, Transaksi Digital Makin Mudah bagi Pengguna Muda
Keuangan
ETF Emas Ditarget Rilis Sebelum Juni, BEI Masih Tunggu Aturan OJK
ETF Emas Ditarget Rilis Sebelum Juni, BEI Masih Tunggu Aturan OJK
Cuan
Pemerintah Siapkan Rp 180 Miliar untuk Diskon Angkutan Nataru
Pemerintah Siapkan Rp 180 Miliar untuk Diskon Angkutan Nataru
Ekbis
RI Belum Bisa jadi Negara dengan Ekonomi Syariah Terbesar Dunia, Kenapa?
RI Belum Bisa jadi Negara dengan Ekonomi Syariah Terbesar Dunia, Kenapa?
Syariah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau