Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rifqi Nuril Huda
Mahasiswa Magister Hukum SDA UI

Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Wasekjend Dewan Energi Mahasiswa, Wakil Bendahara Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

Logam Tanah Jarang dan Sumber Energi Baru Dunia

Kompas.com - 20/10/2025, 19:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

BAYANGKAN sebuah kita hidup di desa yang hidup damai dengan sawah, singkong, dan jagung sebagai sumber pangan utama. Lalu, suatu hari tersiar kabar bahwa di bawah tanah desa itu tersimpan logam tanah jarang (rare earth elements/REE) yang nilainya jauh melampaui hasil panen berpuluh-puluh tahun. Seketika, orang-orang dari kota, bahkan dari negeri asing, berdatangan membawa uang, teknologi dan janji kerja sama.

Imajinasi kisah sederhana ini sejatinya mencerminkan wajah dunia hari ini adalah logam tanah jarang dan mineral kritis lainnya telah menjelma sebagai “emas baru” abad modern sebagai fondasi bagi transisi energi, industri pertahanan serta teknologi masa depan. Panel surya, turbin angin, kendaraan listrik, hingga sistem senjata canggih tak bisa diproduksi tanpa keberadaan mineral kritis seperti nikel, litium, kobalt atau logam tanah jarang.

Namun, faktanya sumber daya tersebut tidak tersebar merata. Sebagian besar pemurnian logam tanah jarang dikuasai oleh Tiongkok yang mengendalikan lebih dari 60 persen produksi dunia dan 90 persen kapasitas pemurnian global. Artinya, sekalipun negara lain menemukan cadangan besar, tanpa kemampuan pemrosesan dan teknologi, mereka hanya memiliki batu biasa.

Amerika Serikat yang dulu menjadi raksasa industri bahkan tertinggal jauh karena biaya tinggi dan regulasi lingkungan yang ketat. Tambang Mountain Pass yang pernah berjaya kini redup, dan ketergantungan Washington terhadap pasokan logam tanah jarang dan mineral kritis dari Tiongkok menjadi titik lemah dalam pertahanan nasionalnya.

Inilah wajah baru kebutuhan ekonomi abad ke-21, mineral kritis menjadi senjata diplomasi sekaligus alat tekanan geopolitik. Jika minyak adalah sumber kekuasaan di abad ke-20, maka mineral kritis kini berpotensi menggantikan posisinya.

Pembatasan ekspor, dominasi rantai pasok dan penguasaan cadangan menjadi “kartu truf” baru dalam politik global. Persaingan Amerika–Tiongkok atas penguasaan logam tanah jarang tidak hanya soal ekonomi, tetapi pertarungan hegemonik atas masa depan teknologi dunia. Di tengah rivalitas ini, Indonesia berdiri di persimpangan strategis. Negeri kita memiliki cadangan besar mineral kritis mulai dari nikel, timah, bauksit, hingga logam tanah jarang tersebar di Bangka Belitung, Sulawesi dan Kalimantan.

Namun, pertanyaannya, apakah Indonesia akan kembali menjadi “tukang gali” seperti masa lalu, atau berani menulis babak baru menjadi bangsa yang berdaulat atas sumber dayanya sendiri?

Langkah awal pemerintah telah diambil melalui pembentukan Badan Industri Mineral (BIM). Lembaga non-struktural di bawah Presiden ini memiliki mandat strategis untuk mengawal kebijakan nasional pengelolaan mineral kritis dan mengintegrasikan riset, produksi, serta pemanfaatannya.

Kepala BIM, Brian Yuliarto, menegaskan fokus lembaga ini pada pengelolaan logam tanah jarang dan mineral radioaktif yang memegang peran vital bagi transisi energi dan pertahanan nasional.

Namun, tantangannya tidak kecil. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa hingga akhir 2023, potensi logam tanah jarang Indonesia masih sebatas dan belum tervalidasi menjadi cadangan ekonomis. Dari total sekitar 136 juta ton bijih yang tersebar di Bangka Belitung, Sumatra, dan Kalimantan, belum ada kepastian cadangan nasional yang jelas.

Tanpa validasi cadangan, sulit menarik investasi, membangun industri pemrosesan atau menyusun kebijakan berbasis data yang kredibel.

Baca juga: Logam Tanah Jarang dan Perebutan Dunia Baru

Kelembagaan, Teknologi, dan Kedaulatan

Tantangan terbesar bagi BIM dan kebijakan mineral kritis Indonesia bukan sekadar pendanaan, melainkan kelembagaan dan konsistensi politik. Selama ini riset dan pengelolaan logam tanah jarang tersebar di berbagai institusi tanpa koordinasi. Akibatnya, tidak ada roadmap industrialisasi yang konkret dan berkesinambungan.

Padahal, jika belajar dari Tiongkok, kunci keberhasilan mereka justru ada pada tata kelola kelembagaan yang kuat dan berorientasi jangka panjang. Sejak 1975, Tiongkok telah membangun National Rare Earth Development and Application Leading Group yang kemudian berevolusi menjadi Rare Earth Office di bawah Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi.

Lembaga ini tidak bekerja sendiri, tetapi bersinergi dengan kementerian perdagangan, sumber daya alam, serta perusahaan BUMN besar seperti China Rare Earth Group. Begitupun Amerika Serikat memiliki Critical Minerals Subcommittee yang mengoordinasikan 14 lembaga federal, sementara Australia, Kanada, Uni Eropa, dan Jepang masing-masing membentuk kantor khusus untuk mineral kritis.

Semua contoh itu menegaskan satu pelajaran penting, peranan kelembagaan yang solid adalah tulang punggung kedaulatan sumber daya. BIM harus mengambil peran serupa, bukan sekadar lembaga simbolik. Ia perlu diberi kewenangan koordinatif yang kuat, akses pembiayaan riset dan mandat legal yang tegas untuk mengintegrasikan kementerian, lembaga, BUMN serta sektor swasta. Tanpa itu, Indonesia berisiko kembali pada kutukan klasik yaitu kaya sumber daya, tetapi miskin manfaat.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Purbaya Tawarkan Pemda hingga BUMD Ajukan Pinjaman ke Pusat dengan Bunga Rendah 0,5 Persen
Purbaya Tawarkan Pemda hingga BUMD Ajukan Pinjaman ke Pusat dengan Bunga Rendah 0,5 Persen
Keuangan
Nilai Tukar Petani dan Nelayan Kompak Turun Pada Oktober 2025, Apa Penyebabnya?
Nilai Tukar Petani dan Nelayan Kompak Turun Pada Oktober 2025, Apa Penyebabnya?
Ekbis
Benarkah Hino Milik Toyota?
Benarkah Hino Milik Toyota?
Ekbis
Purbaya Soroti Lambatnya Penyerapan Dana oleh BTN, Sektor Perumahan Dinilai Masih Lesu
Purbaya Soroti Lambatnya Penyerapan Dana oleh BTN, Sektor Perumahan Dinilai Masih Lesu
Ekbis
Tak Mau Anak Magang Dieksploitasi, Ini Arahan Menaker
Tak Mau Anak Magang Dieksploitasi, Ini Arahan Menaker
Ekbis
Purbaya: Saya Undang Investor Asing, tapi Tidak Akan Memohon-Mohon
Purbaya: Saya Undang Investor Asing, tapi Tidak Akan Memohon-Mohon
Ekbis
Inflasi Oktober 2025 Capai 0,28 Persen, Disumbang Emas Perhiasan dan Cabai Merah
Inflasi Oktober 2025 Capai 0,28 Persen, Disumbang Emas Perhiasan dan Cabai Merah
Ekbis
Neraca Dagang Indonesia Surplus 4,34 Miliar Dollar AS pada September 2025
Neraca Dagang Indonesia Surplus 4,34 Miliar Dollar AS pada September 2025
Ekbis
Perkuat Peran di IKN, PT PP Teken Kontrak Pembangunan Jalan Kawasan Yudikatif Senilai Rp 1,97 Triliun
Perkuat Peran di IKN, PT PP Teken Kontrak Pembangunan Jalan Kawasan Yudikatif Senilai Rp 1,97 Triliun
Industri
OJK Ungkap Tantangan Pengembangan Industri Keuangan Syariah, Mulai Permodalan hingga Diversifikasi Produk
OJK Ungkap Tantangan Pengembangan Industri Keuangan Syariah, Mulai Permodalan hingga Diversifikasi Produk
Ekbis
Pabrik Asia Lesu, Dampak Tarif dan Lemahnya Permintaan AS Mulai Terasa
Pabrik Asia Lesu, Dampak Tarif dan Lemahnya Permintaan AS Mulai Terasa
Ekbis
Purbaya dan DPD Bahas Arah Kebijakan Fiskal dan Penguatan Daerah
Purbaya dan DPD Bahas Arah Kebijakan Fiskal dan Penguatan Daerah
Ekbis
Rupiah Melemah di Awal Pekan, Dihantui Kenaikan Inflasi dan Surplus Dagang Menyusut
Rupiah Melemah di Awal Pekan, Dihantui Kenaikan Inflasi dan Surplus Dagang Menyusut
Ekbis
Harga Referensi Biji Kakao Turun 14,5 Persen, Imbas Suplai Melimpah
Harga Referensi Biji Kakao Turun 14,5 Persen, Imbas Suplai Melimpah
Ekbis
Harga Emas Antam Melorot di Perdagangan Hari Ini, Turun Jadi Rp 2,27 Juta Per Gram
Harga Emas Antam Melorot di Perdagangan Hari Ini, Turun Jadi Rp 2,27 Juta Per Gram
Ekbis
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau