BAYANGKAN sebuah kita hidup di desa yang hidup damai dengan sawah, singkong, dan jagung sebagai sumber pangan utama. Lalu, suatu hari tersiar kabar bahwa di bawah tanah desa itu tersimpan logam tanah jarang (rare earth elements/REE) yang nilainya jauh melampaui hasil panen berpuluh-puluh tahun. Seketika, orang-orang dari kota, bahkan dari negeri asing, berdatangan membawa uang, teknologi dan janji kerja sama.
Imajinasi kisah sederhana ini sejatinya mencerminkan wajah dunia hari ini adalah logam tanah jarang dan mineral kritis lainnya telah menjelma sebagai “emas baru” abad modern sebagai fondasi bagi transisi energi, industri pertahanan serta teknologi masa depan. Panel surya, turbin angin, kendaraan listrik, hingga sistem senjata canggih tak bisa diproduksi tanpa keberadaan mineral kritis seperti nikel, litium, kobalt atau logam tanah jarang.
Namun, faktanya sumber daya tersebut tidak tersebar merata. Sebagian besar pemurnian logam tanah jarang dikuasai oleh Tiongkok yang mengendalikan lebih dari 60 persen produksi dunia dan 90 persen kapasitas pemurnian global. Artinya, sekalipun negara lain menemukan cadangan besar, tanpa kemampuan pemrosesan dan teknologi, mereka hanya memiliki batu biasa.
Amerika Serikat yang dulu menjadi raksasa industri bahkan tertinggal jauh karena biaya tinggi dan regulasi lingkungan yang ketat. Tambang Mountain Pass yang pernah berjaya kini redup, dan ketergantungan Washington terhadap pasokan logam tanah jarang dan mineral kritis dari Tiongkok menjadi titik lemah dalam pertahanan nasionalnya.
Inilah wajah baru kebutuhan ekonomi abad ke-21, mineral kritis menjadi senjata diplomasi sekaligus alat tekanan geopolitik. Jika minyak adalah sumber kekuasaan di abad ke-20, maka mineral kritis kini berpotensi menggantikan posisinya.
Pembatasan ekspor, dominasi rantai pasok dan penguasaan cadangan menjadi “kartu truf” baru dalam politik global. Persaingan Amerika–Tiongkok atas penguasaan logam tanah jarang tidak hanya soal ekonomi, tetapi pertarungan hegemonik atas masa depan teknologi dunia. Di tengah rivalitas ini, Indonesia berdiri di persimpangan strategis. Negeri kita memiliki cadangan besar mineral kritis mulai dari nikel, timah, bauksit, hingga logam tanah jarang tersebar di Bangka Belitung, Sulawesi dan Kalimantan.
Namun, pertanyaannya, apakah Indonesia akan kembali menjadi “tukang gali” seperti masa lalu, atau berani menulis babak baru menjadi bangsa yang berdaulat atas sumber dayanya sendiri?
Langkah awal pemerintah telah diambil melalui pembentukan Badan Industri Mineral (BIM). Lembaga non-struktural di bawah Presiden ini memiliki mandat strategis untuk mengawal kebijakan nasional pengelolaan mineral kritis dan mengintegrasikan riset, produksi, serta pemanfaatannya.
Kepala BIM, Brian Yuliarto, menegaskan fokus lembaga ini pada pengelolaan logam tanah jarang dan mineral radioaktif yang memegang peran vital bagi transisi energi dan pertahanan nasional.
Namun, tantangannya tidak kecil. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa hingga akhir 2023, potensi logam tanah jarang Indonesia masih sebatas dan belum tervalidasi menjadi cadangan ekonomis. Dari total sekitar 136 juta ton bijih yang tersebar di Bangka Belitung, Sumatra, dan Kalimantan, belum ada kepastian cadangan nasional yang jelas.
Tanpa validasi cadangan, sulit menarik investasi, membangun industri pemrosesan atau menyusun kebijakan berbasis data yang kredibel.
Baca juga: Logam Tanah Jarang dan Perebutan Dunia Baru
Tantangan terbesar bagi BIM dan kebijakan mineral kritis Indonesia bukan sekadar pendanaan, melainkan kelembagaan dan konsistensi politik. Selama ini riset dan pengelolaan logam tanah jarang tersebar di berbagai institusi tanpa koordinasi. Akibatnya, tidak ada roadmap industrialisasi yang konkret dan berkesinambungan.
Padahal, jika belajar dari Tiongkok, kunci keberhasilan mereka justru ada pada tata kelola kelembagaan yang kuat dan berorientasi jangka panjang. Sejak 1975, Tiongkok telah membangun National Rare Earth Development and Application Leading Group yang kemudian berevolusi menjadi Rare Earth Office di bawah Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi.
Lembaga ini tidak bekerja sendiri, tetapi bersinergi dengan kementerian perdagangan, sumber daya alam, serta perusahaan BUMN besar seperti China Rare Earth Group. Begitupun Amerika Serikat memiliki Critical Minerals Subcommittee yang mengoordinasikan 14 lembaga federal, sementara Australia, Kanada, Uni Eropa, dan Jepang masing-masing membentuk kantor khusus untuk mineral kritis.
Semua contoh itu menegaskan satu pelajaran penting, peranan kelembagaan yang solid adalah tulang punggung kedaulatan sumber daya. BIM harus mengambil peran serupa, bukan sekadar lembaga simbolik. Ia perlu diberi kewenangan koordinatif yang kuat, akses pembiayaan riset dan mandat legal yang tegas untuk mengintegrasikan kementerian, lembaga, BUMN serta sektor swasta. Tanpa itu, Indonesia berisiko kembali pada kutukan klasik yaitu kaya sumber daya, tetapi miskin manfaat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya