KOMPAS.com — Gangguan besar yang dialami Amazon Web Services (AWS) pada Senin (21/10/2025) waktu setempat sempat melumpuhkan lebih dari 1.000 aplikasi dan situs di seluruh dunia.
Gangguan ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi ekonomi digital global yang semakin bergantung pada penyedia layanan cloud tunggal.
Layanan seperti Snapchat, Lloyds Bank, Halifax, hingga permainan daring Fortnite dan aplikasi belajar bahasa Duolingo termasuk di antara yang terdampak.
Platform pemantau gangguan Downdetector mencatat lebih dari 11 juta laporan masalah dari pengguna di berbagai negara selama gangguan terjadi.
Amazon menyebut seluruh layanan AWS telah kembali normal pada sekitar pukul 23.00 BST. “Semua layanan telah kembali beroperasi secara normal,” demikian pernyataan resmi AWS dalam laman statusnya.
Baca juga: Indonesia Bersiap Pimpin Revolusi Digital ASEAN, AWS Hadir Siapkan Fondasi Teknologinya
Namun, para ahli menilai gangguan tersebut menjadi pengingat penting tentang risiko ekonomi di era digital.
“Kejadian ini menyoroti betapa saling bergantungnya infrastruktur digital kita,” kata Profesor Alan Woodward dari University of Surrey, dikutip dari BBC.
“Kesalahan kecil, bahkan yang disebabkan manusia, bisa berdampak sangat luas.”
Amazon belum menjelaskan secara rinci penyebab gangguan tersebut. Namun, dalam pembaruan resminya, AWS menyebut masalah tampaknya terkait dengan sistem Domain Name System (DNS) yang memengaruhi API layanan DynamoDB di wilayah AS Timur.
DNS berfungsi seperti buku telepon internet yang mengubah nama situs menjadi deretan angka agar dapat dibaca komputer. Ketika sistem ini terganggu, situs-situs menjadi tidak dapat diakses.
Baca juga: Indodax: Pertumbuhan Industri Kripto Peluang Perkuat Ekonomi Digital RI
Chief Executive Officer Cloudflare Matthew Prince mengatakan, peristiwa itu menunjukkan betapa besarnya pengaruh penyedia cloud terhadap jalannya ekonomi digital dunia.
“Semua orang bisa mengalami hari yang buruk, dan kali ini Amazon mengalaminya,” ujar Prince. “Cloud memang memungkinkan efisiensi dan skala besar, tetapi ketika terjadi gangguan, banyak layanan penting ikut tumbang.”
Pandangan serupa disampaikan Kepala Future of Technology Institute, Cori Crider. Ia menyebut gangguan tersebut sebagai tanda bahaya ekonomi.
“Ini seperti jembatan ekonomi yang runtuh,” katanya. “Ketika sebagian besar layanan cloud terkonsentrasi pada segelintir penyedia besar seperti Amazon, Microsoft, dan Google,sekitar 70 persen pangsa pasar, risikonya sangat besar bagi stabilitas ekonomi global.”
Menurut Crider, diversifikasi penyedia layanan perlu dilakukan untuk memperkuat ketahanan ekonomi digital. “Kita perlu membangun pasar yang lebih lokal dan beragam agar tidak terlalu tergantung pada monopoli global,” ujarnya.
Baca juga: Mantan Petinggi Amazon Gabung ke Flip untuk Perkuat Strategi Teknologi
Sementara itu, Profesor Ken Birman dari Cornell University menilai tanggung jawab juga ada pada perusahaan pengguna AWS.
“Banyak perusahaan tidak cukup berinvestasi untuk membangun sistem cadangan yang kuat,” katanya. “Padahal kita tahu bagaimana membuat sistem lebih tangguh dan aman.”
Insiden ini terjadi lebih dari setahun setelah gangguan besar lain yang melibatkan perusahaan keamanan siber CrowdStrike. Kala itu, Delta Airlines mengklaim mengalami kerugian lebih dari 500 juta dollar AS atau sekitar Rp 8,25 triliun akibat gangguan tersebut.
Peristiwa seperti ini menunjukkan bahwa ketergantungan digital bukan hanya masalah teknis, melainkan juga menyangkut risiko ekonomi dan keamanan global.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang