Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

PBB Pati Naik 250 Persen: Minimnya Teknokratisme dan Gaya Bicara Menyinggung

Kompas.com - 07/08/2025, 11:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pemerintah harus mampu menjawab tiga pertanyaan penting sebelum menerbitkan kebijakan fiskal yang sensitif: apakah kebijakan ini berdasarkan kajian akademik dan analisis fiskal yang matang?

Apakah masyarakat telah diberi ruang partisipasi dan konsultasi publik secara bermakna (meaningful participation)? Apakah hasil dari pajak ini akan kembali dirasakan secara konkret oleh masyarakat?

Jika salah satu dari tiga hal tersebut belum terpenuhi, maka kebijakan tersebut belum layak dijalankan.

Kebijakan publik bukan soal keberanian mengambil keputusan, tetapi tentang kemampuan melibatkan dan membahagiakan masyarakat lewat keputusan yang adil dan solutif.

Kita tentu masih ingat bagaimana Dirut PT KAI, Didiek Hartantyo, secara terbuka membungkuk dan meminta maaf kepada masyarakat karena kereta Argo Bromo Anggrek mengalami anjlok.

Tindakan itu memang simbolis, tetapi mengandung makna mendalam tentang kesadaran etik seorang pemimpin: tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada melayani rakyat dengan ketulusan dan kehangatan.

Sebagaimana yang pernah saya tulis dalam opini sebelumnya, “Pejabat di Publik: Ngomong Penting atau yang Penting Ngomong?”, jangan sampai komunikasi pejabat publik justru menyayat hati rakyat.

Etika komunikasi dalam pelayanan publik seharusnya mengedepankan kejujuran, penghormatan, tanggung jawab, dan konsistensi.

Tidak ada ruang bagi arogansi di tengah rakyat yang sedang bergelut dengan himpitan ekonomi dan ketidakpastian.

Kasus Pati menjadi contoh penting betapa teknokratisme tidak boleh dilupakan dalam setiap kebijakan publik.

Kepala daerah tidak bisa hanya mengandalkan legitimasi elektoral tanpa diimbangi dengan legitimasi moral dan teknokratis. Pemerintahan yang sehat adalah pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai mitra, bukan ancaman.

Saatnya kita menata ulang orientasi kepemimpinan daerah—dari yang sekadar populis dan otoriter menjadi reflektif, partisipatif, dan transformatif.

Karena membangun daerah bukan soal siapa yang paling lantang bersuara, tapi siapa yang paling tulus mendengar dan paling cermat menghitung.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau