Pernyataan ini tidak hanya menyinggung nalar publik, tetapi juga menunjukkan absennya semangat demokrasi dalam proses perumusan kebijakan.
Komunikasi pejabat publik bukan sekadar soal keberanian, tetapi tentang kepekaan, keteladanan, dan etika melayani.
Ketika seorang kepala daerah berbicara dengan gaya konfrontatif seperti itu, maka yang muncul bukan legitimasi, melainkan resistensi.
Kenaikan pajak adalah instrumen fiskal yang sah, tetapi tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa proses teknokratik yang memadai.
Pertanyaannya: apakah kebijakan kenaikan PBB-P2 ini telah melalui pembahasan terbuka dengan DPRD? Apakah telah dilakukan konsultasi dan koordinasi dengan Kemendagri dan Kementerian Keuangan?
Apakah kajian daya beli masyarakat, koefisien gini, tingkat inflasi lokal, serta ketimpangan spasial dan ekonomi antardesa telah dianalisis secara menyeluruh?
Jika semua itu belum dilakukan, maka kebijakan ini bukan hanya bermasalah secara sosial, tetapi juga cacat secara prosedural dan teknokratis.
Baca juga: Bendera dan Kekuasaan yang Takut
Teknokratisme menuntut bahwa setiap kebijakan publik harus lahir dari proses perencanaan yang berbasis bukti (evidence-based), partisipatif, rasional, serta akuntabel.
Pemerintah daerah seharusnya menempatkan rakyat bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek deliberatif dalam proses pembuatan kebijakan. Tanpa ini, maka yang terjadi bukanlah pembangunan, melainkan pemaksaan.
Melihat kebijakan ini, ingatan kita seperti ditarik mundur ke era kolonial, ketika rakyat ditindas oleh sistem perpajakan yang tidak adil.
Dalam buku “Sejarah Indonesia,” karya Sardiman AM dan Amurwani Dwi Lestariningsih (2013), disebutkan betapa mencekiknya sistem pajak pada masa Van der Capellen: pajak tanah (welah-welit), pajak pekarangan (pengawang-awang), pajak jumlah pintu rumah (pecumpling), pajak ternak (pajigar), hingga pajak jalanan yang dikenakan pada ibu yang menggendong anak.
Semua itu menunjukkan bagaimana sistem kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat akan selalu menciptakan penderitaan struktural.
Maka, ketika kita menyaksikan pemimpin daerah hari ini berbicara dengan nada otoriter kepada rakyatnya, itu bukan sekadar masalah komunikasi—melainkan refleksi bahwa feodalisme belum sepenuhnya hilang dari wajah birokrasi.
Sudah waktunya kepala daerah memandang rakyat sebagai poros utama dalam proses kebijakan publik.
Kenaikan pajak sah secara hukum, tetapi harus berpijak pada tiga prinsip utama: transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial.
Baca juga: One Piece Ditindak, Ambalat Dinegosiasikan: Ironi Nasionalisme