Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Topeng Pembangunan Kaldera Toba demi Status Geopark UNESCO

Kompas.com - 07/08/2025, 15:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Yang ada adalah pengambilan gambar drone, panggung hiburan, dan liputan media, lalu semuanya menghilang tanpa jejak.

Masyarakat Toba bukan tidak mampu berkontribusi dalam pengelolaan Kaldera, tapi negara telah gagal membangun ruang dialog dan kepercayaan.

Sebagai pembanding, di Geopark Steirische Eisenwurzen, di Sankt Gallen, Styria, Austria, salah satu prinsip utama keberhasilannya justru terletak pada keterlibatan komunitas sejak tahap perencanaan hingga evaluasi.

Mereka tidak diposisikan sebagai penonton atas program pemerintah, melainkan sebagai pemilik narasi, penjaga lanskap, dan produsen pengetahuan lokal. Orang lokal dimanusiakan dan ditempatkan sebagai pelaku utama.

Kirchmair (2025) dalam buku "UNESCO Global Geopark Steirische Eisenwurzen" menegaskan bahwa keberhasilan geopark tidak hanya diukur dari sertifikasi internasional, tetapi dari “mutual trust-building between scientific actors and local communities through shared governance mechanisms”.

Artinya, pembangunan kepercayaan timbal balik antara aktor ilmiah (seperti peneliti, akademisi, dan pengelola konservasi) dan komunitas lokal melalui mekanisme tata kelola bersama. Sebuah standar yang justru diabaikan oleh negara dalam kasus Kaldera Toba.

Baca juga: Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK

Alih-alih mengadopsi pendekatan dialogis seperti yang diterapkan di Geopark Steirische Eisenwurzen, Austria, pengelolaan Kaldera Toba justru tenggelam dalam logika sektoral, birokratik, dan transaksional.

Pemerintah lebih sibuk memburu legitimasi simbolik daripada membangun fondasi ekologis dan sosial.

Padahal, sebagaimana dicatat dalam studi tersebut, “geopark is not a landscape of trophies, but a living territory of negotiation, contradiction, and transformation”.

Geopark bukanlah lanskap untuk dipamerkan seperti piala/trophy, tetapi wilayah hidup yang dinamis penuh negosiasi, pertentangan, dan transformasi.

Maksudnya, geopark bukan benda mati untuk dikomersialkan atau dibanggakan di kancah internasional semata. Sebaliknya, ia adalah ruang yang dinamis, di mana konflik, adaptasi, dan perubahan menjadi bagian tak terpisahkan.

Jadi, pengelolaan geopark harus fleksibel, inklusif, dan peka terhadap realitas sosial-ekologis yang terus berubah. Tanpa memahami itu, Indonesia bukan hanya berisiko kehilangan status UNESCO, tapi juga kehilangan legitimasi moral di mata rakyatnya sendiri.

Di kawasan Kaldera Toba, derajat politik jauh lebih besar daripada derajat kemanusiaan. Komentar banyak pemerhati lingkungan dan pariwisata terjadi aliansi antara pejabat dan korporasi dalam merusak sumber daya alam dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah hanya hadir sebagai simbol negara, bukan sebagai pelindung rakyat. Mereka menjadi alat politik dari kerakusan elite, bukan pemimpin yang berpihak.

Penunjukan pejabat dilakukan berdasarkan kedekatan, bukan kapasitas/kualifikasi. Mereka yang dipilih bukan karena memahami Toba, tetapi karena bisa menjamin kelancaran proyek.

Konteks domestik menunjukkan bahwa isu serupa juga terjadi di Taman Nasional Komodo, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO yang justru menghadapi risiko terhadap Outstanding Universal Value-nya karena proyek pariwisata elite.

Pada Agustus 2025, UNESCO memberikan peringatan keras kepada Pemerintah Indonesia terkait izin konsesi besar kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar.

UNESCO mendesak penghentian sementara seluruh proyek infrastruktur wisata yang dinilai telah mengancam kelestarian komodo dan ekosistem Pantai Pink Beach dan Long Beach, hingga evaluasi AMDAL yang direvisi diserahkan dan dikaji ulang oleh IUCN.

Pernyataan ini tercantum dalam keputusan Komite Warisan Dunia WHC/21/44.COM/7B.93, yang juga menuntut agar pemerintah membuka ruang pemantauan independen atas dampak proyek tersebut (Mongabay, 4/8/2025).

Lebih lanjut, kritik juga disuarakan oleh masyarakat adat di Komodo dan publik sipil yang menyebut bahwa investasi yang masuk di lokasi itu belum memperhitungkan nilai lokal, tetapi justru melanggengkan model pembangunan eksklusif yang justru telah merampas tanah adat dan ruang hidup warga seperti komunitas Ata Modo.

Mereka menegaskan bahwa proyek resort elite dan dermaga mega di kawasan konservasi tidak hanya membahayakan nilai ekologis, tetapi juga menyisihkan peran masyarakat dalam ekonomi pariwisata.

Baca juga: Bendera dan Kekuasaan yang Takut

Sejalan dengan kritik terhadap Kaldera Toba, kasus Komodo ini menunjukkan bahwa proyek pariwisata nasional sering berjalan tanpa melibatkan masyarakat sebagai subjek, melainkan sebagai kelakuan simbolik yang hanya dinarasikan oleh negara dan investor besar (walhi.or.id, 2025).

Kaldera Toba bukan hanya dieksploitasi, tapi juga dijarah secara sistematis oleh kepentingan segelintir elite. Hutan-hutan heterogen yang dulu menjadi penyangga ekosistem kini sudah dan akan terus dibabat habis.

Proyek food estate yang dicanangkan pada 2021, menjadi titik balik kehancuran ekologis di sana. Proyek ini menjanjikan ketahanan pangan, tapi yang hadir justru longsor, banjir, dan konflik lahan serta rakyat yang putus asa akan masa depan mereka.

Tak hanya meninggalkan kerusakan ekologis, tetapi juga luka sosial. Tidak ada catatan keuangan yang jelas dari hasil penjualan kayu. Sama sekali tidak ada transparansi publik. Yang ada hanya keluh kesan dan derita.

Negara ikut andil dalam kezaliman terhadap masyarakat yang sudah hidup beranak pinak menjaga kawasan ini secara turun-temurun dalam waktu sangat lama.

Pengelolaan Kaldera Toba tidak dijalankan oleh orang-orang bergagasan kuat, tapi justru oleh mereka yang punya kedekatan dengan penguasa.

Para pejabat dan vendor adalah titipan elite yang hanya ingin melanggengkan proyek. Mereka membangun dinasti ‘pemerkosaan’ terstruktur, yang menyingkirkan aktor-aktor lokal progresif.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau