Proyek tidak lahir dari aspirasi rakyat, melainkan dari kalkulasi politik dan rente. Bahkan proposal komunitas lokal yang rasional dan berbasis nilai seringkali formal diterima lalu dikubur hanya karena tidak masuk dalam lingkaran kedekatan.
Semua yang dilakukan pemerintah adalah proyek. Bukan pembangunan. Mereka hanya membangun fisik, bukan jiwa dan masa depan. Mental masyarakat diracuni oleh janji kekayaan, bukan cita-cita kesejahteraan.
Pemerintah menjual mimpi buruk sebagai mimpi indah. Segala hal dipaksakan top-down. Tak ada ruang bagi inisiatif dari bawah. Yang disebut partisipasi hanyalah formalitas tanda tangan kehadiran dalam acara sosialisasi.
Rakyat diposisikan sebagai pemohon sedekah dari pemerintah. Mereka mengais tetesan anggaran dan dipaksa berterima kasih.
Pemerintah tampil bak raja penyelamat, padahal tugasnya hanyalah menyelenggarakan negara. Ini bukan demokrasi yang sesungguhnya. Ini parodi kekuasaan. Sementara itu, birokrasi lokal menjelma menjadi makelar proyek, bukan fasilitator pembangunan.
Pelatihan yang dilakukan pemerintah hanya berhenti di pelatihan. Tidak ada dukungan pascaprogram. Masyarakat yang belajar pertanian organik ditinggal sendirian menjual hasilnya.
Negara hanya hadir di awal, lalu hilang. Seharusnya negara juga mengurus distribusi, pasar, hingga pembeliannya.
Tanpa itu, pelatihan hanyalah jebakan. Pemerintah tidak pernah bertanya, apa yang akan terjadi setelah pelatihan selesai? Mereka hanya mengejar laporan kegiatan, bukan transformasi sosial.
Negara masih memuja logika antroposentris. Alam diposisikan sebagai objek eksploitasi. Budaya ekosentris leluhur diabaikan. Bencana pun datang: longsor, banjir, kerusakan lingkungan.
Namun, pemerintah tetap mempromosikan hotel-hotel di tepi danau, restoran di sempadan, dan kebun di ketinggian tanpa memikirkan dampaknya. Nyawa masyarakat dijadikan tumbal. Sebaliknya, masyarakat malah dikriminalisasi jika membuka lahan secara tradisional.
Gotong royong yang dulu menjadi kekuatan sosial masyarakat Toba kini digantikan oleh mental borjuis. Rumah besar, mobil mahal, dan gawai canggih jadi ukuran status sosial.
Pemerintah dan swasta tidak membangun kesadaran kolektif, melainkan menanamkan pola pikir konsumtif. Keharmonisan runtuh, kelas sosial baru terbentuk. Mereka yang setia menjaga budaya kini dianggap terbelakang.
Masyarakat hanya percaya pada legenda pahlawan nasional Sisingamangaraja, tapi buta terhadap geodiversity dan biodiversity yang menjadi kekayaan geosite mereka. Ilmu pengetahuan tidak sampai ke akar rumput.
Pemerintah gagal membumikan sains dalam narasi lokal. Akibatnya, geosite yang seharusnya membanggakan justru asing di mata generasi muda. Padahal, batuan vulkanik Toba adalah saksi sejarah bumi, bukan sekadar benda mati.
Di Indonesia, istilah ekowisata diadopsi tanpa pemahaman. Banyak yang mengira berjalan di sawah atau memanen bawang adalah inti ekowisata. Pemerintah pusat hingga daerah gagal membedakan antara wisata konvensional dan ecotourism.
Akademisi pun abai dalam menjelaskan. Maka, tak heran jika ekowisata hanya jadi bumbu promosi, bukan substansi pembangunan. Pemahaman masyarakat pun terbentuk dari tontonan, bukan pendampingan yang mendalam.
Pemerintah semestinya menggandeng LSM yang memahami nilai-nilai ekowisata berkelanjutan dan mampu mendampingi masyarakat dari hulu ke hilir. Salah satu contohnya adalah Yayasan Lentera Pertiwi Sumatera yang telah bekerja langsung di wilayah ini.
Tanpa dukungan lembaga akar rumput, pembangunan hanya akan menjadi proyek anggaran tanpa nyawa. Pemerintah justru harus belajar dari mereka yang sudah lebih dulu bekerja di lapangan bersama rakyat.
Menjawab kebuntuan struktural ini, model Pentahelix dapat diajukan bukan sekadar sebagai pendekatan teknokratik, tetapi sebagai paradigma baru pengelolaan ruang hidup. Model ini merupakan kolaborasi aktif antara akademisi, pelaku bisnis, komunitas, pemerintah, dan media (ABCGM) (Naibaho, 2025).
Alih-alih mengandalkan pendekatan top-down yang terbukti gagal, model ini menekankan keterlibatan setara antar aktor, dengan fokus pada pembangunan kapasitas bersama dan komunikasi terbuka.
Ini bukan jargon manajemen, melainkan syarat mutlak agar Kaldera Toba tidak lagi diperlakukan sebagai objek, tapi sebagai ruang hidup yang dikelola bersama secara deliberatif.
Jika rekomendasi ini tak diadopsi secara serius dan menyeluruh, maka peringatan UNESCO bukan hanya akan jadi kenyataan, tetapi membuka jalan bagi pengucilan global atas nama kelestarian dan keadilan ekologis.
Seluruh luka ini terjadi ketika Indonesia justru tengah berjuang keras untuk mempertahankan status geopark dunia bagi Kaldera Toba. Namun, perjuangan itu semakin kehilangan makna jika tidak menjawab satu persoalan mendasar, untuk siapa sebenarnya status tersebut dikejar?
Jika pengakuan internasional itu hanya menjadi alat legitimasi bagi kepentingan elite politik dan narasi negara, sementara masyarakat Toba (halak hita) tetap terpinggirkan dari pengambilan keputusan dan akses atas manfaatnya, maka yang sedang diperjuangkan bukanlah keberlanjutan, melainkan kosmetika politik.
Kaldera Toba tidak butuh pengakuan dunia yang dibangun di atas ketimpangan, pengabaian, dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai dan orang lokal. Yang dibutuhkan adalah keadilan ekologis, sosial, dan partisipasi otentik.
Tanpa itu, status UNESCO tak lebih dari bedak tipis yang menutupi wajah pembangunan yang borok, timpang, eksploitatif, dan anti-demokratis
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini