MAGELANG, KOMPAS.com – Langit Magelang sudah gelap ketika seragam Sekolah Dasar Bhakti Tunas Harapan masih melekat di tubuh Raees Balapati Pradana.
Bocah 11 tahun itu baru saja selesai mengikuti les bahasa Inggris hingga pukul 18.00.
Sambil menenteng tablet, Raees mencari tempat duduk tak jauh dari orang tuanya. Jemarinya lincah menari di layar gawai, memainkan gim favoritnya.
Di lain waktu, Raees mengikuti les matematika—pelajaran yang paling ia gemari. Dunia angka dan logika membuatnya betah berlama-lama belajar.
“Aku suka matematika karena seru,” ujarnya kepada Kompas.com di sebuah kafe di Kota Magelang, Jawa Tengah, Kamis (30/10/2025).
Kemampuan Raees di bidang ini membawanya ke ajang kompetisi matematika internasional di Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Ketika masih duduk di taman kanak-kanak di Banten, guru Raees menyadari bahwa ia memiliki kemampuan belajar jauh di atas rata-rata anak seusianya.
Psikolog di sekolah kemudian menyarankan orang tuanya melakukan tes IQ.
“Hasil tes IQ-nya 142,” kata sang ibu, Putri Nurfita (36), mengingat hasil tes kecerdasan intelektual putranya.
Namun, di balik kemampuan kognitifnya yang tinggi, tantangan sosial dan emosional justru muncul saat Raees masuk sekolah dasar negeri di Magelang.
Baca juga: Faith Qatrunnada, Anak CIBI Salatiga yang Mendunia Lewat Prestasi dan Kepedulian Sosial
Putri menuturkan, Raees kerap tantrum dan menolak menceritakan kegiatan sekolah. Kondisi emosinya pun mudah berubah.
“Setelah cerita ke orang tua murid lain, saya baru tahu istilah anak gifted,” ungkapnya.
Anak-anak gifted umumnya memiliki IQ di atas 130 dan kecerdasan yang menonjol, tetapi sering kali kesulitan beradaptasi secara sosial.
Mereka bisa menjadi tertutup, mudah frustrasi, bahkan mengalami perundungan dari teman sebaya.
Kesenjangan kemampuan kognitif dan emosional itulah yang dialami Raees. Menjelang naik ke kelas V, ia sempat memukul dua temannya dalam waktu berdekatan.
“Kepada psikolog, Raees bercerita kalau dia sering diejek teman kalau ada yang nilainya lebih tinggi,” kata Putri.
Baca juga: Kisah Wilang, Gifted Children Asal Yogyakarta Pernah Jadi Dosen Saat Berusia 8 Tahun
Raees akhirnya meminta pindah sekolah dan kini bersekolah di SD Bhakti Tunas Harapan.
Menurut Putri dan suaminya, Rizqi Bayu Aji (37), kondisi Raees kini jauh lebih baik.
“Di sekolah yang sekarang, dia dapat support system dari teman dan gurunya,” ujar Bayu.
Untuk membantu mengelola emosinya, orang tua Raees memberi ruang ketika ia mulai tantrum.
Mereka juga menyalurkan energinya dengan memberikan soal-soal matematika.
“Kami masih kesulitan bagaimana membatasi emosinya biar stabil,” tambah Putri.
Selain matematika, Raees juga menaruh minat besar pada dunia luar angkasa dan penerbangan.
Di meja belajarnya berjejer miniatur pesawat, dan ia bisa menyebut jenis-jenisnya dengan antusias.
“Paling suka Boeing 747,” ucapnya mantap.
Meski masih duduk di bangku sekolah dasar, Raees sudah tahu apa cita-citanya kelak.
“Aku pengin jadi pilot,” katanya dengan senyum lebar.
Bagi orang tuanya, perjalanan mendampingi anak dengan kecerdasan di atas rata-rata bukanlah perkara mudah.
Namun, di balik tantangan itu, mereka yakin satu hal: setiap anak berbakat butuh ruang untuk diterima, bukan dituntut sempurna.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang