MAGETAN, KOMPAS.com – Tangan renta Saekun (77) masih nampak sigap menepak permukaan kulit gendang untuk menjaga irama puji pujian yang dilantunkan dalang.
Ditingkahi dengan terbangan besar dan terbangan kecil serta ketukan pada gendang tung tung semakin memberikan suasana religius lantunan sholawat yang dilagukan sekitar 30 orang dengan mengitari meja yang diletakkan di tengah Masjid Nduwuran Desa Sambirobong, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Setiap bulan Maulid Nabi Muhammad SAW, suasana masjid di Desa Sambirobyong berubah menjadi meriah sekaligus sakral.
Tradisi ini dikenal dengan sebutan gembrungan, sebuah warisan leluhur yang terus dilestarikan hingga kini.
Mbah Mesran (70) , salah seorang tokoh yang menjadi penjaga tradisi ini, menyebutkan bahwa gembrungan diwariskan dari mbah-mbah dulu dan dijalankan secara turun-temurun oleh generasi penerus di desanya.
Baca juga: Rifal Ulum, Bocah Banyuwangi yang Hasilkan Rupiah dari Hobi Buat Perlengkapan Kesenian Suku Osing
“Gembrungan itu ritual budaya religius yang telah ada sejak masa nenek moyang sekaligus hiburan."
"Kami bertugas meneruskan budaya nenek moyang kita. Kami merupakan keturunan ke-6 atau ke-7 dari nenek moyang kami yang memainkan gembrungan,” ujarnya ditemui di Masjid Nduwuran tempat kegiatan gembrungan dilaksanakan pada Sabtu (6/9/2025).
Gembrungan di lingkungannya, menurut Mesran, tidak berubah seperti di tempat lain.
Di desanya ada 3 kelompok gembrungan namun saat ini tinggal 2 kelompok yang masih eksis.
“Sholawat tetap dibaca sebagaimana aslinya, tanpa perubahan. Alat gembrungan dari zaman mbah kita dulu ya seperti ini, kami tidak menambah alat apapun."
"Pengiring ya hanya terbang, gendang besar, gendang tuntung. Dari 3 kelompok gembrungan tinggal 2 yang aktif, 1 sudah tidak ada penerusnya,” imbuh Mesran.
Mbah Narto (75) selaku dalang dalam pagelaran gembrungan mengatakan, setiap tahun gembrungan biasanya digelar tiga kali, pada peringatan Maulid Nabi, malam 1 Suro, dan bersih desa.
Rangkaian acara dimulai sejak pagi sekitar pukul delapan dan usai menjelang sore pukul tiga atau setengah empat sore.
Alat musik utama dalam gembrungan terdiri dari gendang, rebana dengan diameter 60 cm atau disebut terbang kecil, terbang besar atau rebana dengan diameter sekitar 75 cm, gendang kecil atau gendang tung tung.
Perpaduan bunyi alat-alat itu menciptakan irama khas yang mengiringi pembacaan kitab-kitab keagamaan, salah satunya Kitab Barzanji.
Baca juga: Jelajahi 5 Gedung Kesenian Bersejarah di Kota Bandung, Pusat Kreativitas dan Budaya
Kitab ini berisi kisah hidup Nabi Muhammad SAW, dari lahir hingga wafat, sekaligus menceritakan penyebaran Islam di tanah Jawa.
“Kitab Barzanji itu yang berisi doa, pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemudian cerita lahirnya Nabi Muhammad, perjuangan penyebaran agama Islam hingga beliau wafat,” kata Narto.
Selain solawat, terdapat pula bacaan khusus yang disebut serokalab, berupa doa-doa untuk keselamatan bangsa dan umat Islam dalam babak penampilan gembrungan.
Sesi srokalan, biasanya dilantunkan usai beristirahat dan sholat dzuhur. Semua dalang dan beberapa anggota gembrungan berdiri mengelilingi meja yang terletak di tengah masjid.