KOMPAS.com - Selain menu makanan, tren gaya bersantap juga perlahan berganti mengikuti perkembangan zaman.
Minat santap mewah atau yang biasa disebut fine dining diprediksi kian berkurang pada tahun-tahun mendatang. Sebagai gantinya, muncul gaya bersantap baru bernama fine casual dining.
"Kalau 15-20 tahun lalu kita bicara soal kemewahan, mungkin identik sama chandelier, tapi generasi sekarang melihat kemewahan itu lebih kepada quality time," kata pengamat restoran sekaligus penulis kuliner, Kevindra Soemantri.
Baca juga: Sejarah Restoran Fine Dining, Berawal dari Banyaknya Koki Menggangur
Kini, orang muda tak lagi berpatokan pada hal-hal mewah yang terbalut dalam konsep makan fine dining, saat semua peraturan restoran terasa formal.
Meja-meja makan berhias taplak putih, pramusaji berbusana formal, begitu juga tamu-tamu yang datang wajib mengenakan pakaian resmi.
"Generasi baru lebih senang sesuatu yang kasual. Itu makanya ada satu genre baru yang muncul itu adalah fine casual," jelas Kevindra saat ditemui media di sela acara Marriott International’s Future of Food 2026 di The Westin Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Baca juga: Makan di Restoran Fine Dining, Apa Harus Reservasi Dahulu?
Berkaca pada restoran-restoran mewah di Singapura yang satu per satu gugur, meski telah mengantongi bintang Michelin.
Terbaru, ada restoran fine dining bintang satu Michelin Alma by Juan Amador di Singapura yang menutup operasionalnya pada Agustus 2025, menyusul Art di Daniele Sperindio dan restoran lainnya yang lebih dulu tutup.
"Kita tidak bisa mengendalikan dinamika ekonomi atau pasar, dan memang benar setiap restoran punya masa hidupnya masing-masing, tapi apa yang telah kita ciptakan di restoran ini selama beberapa tahun ini, saya bersyukur karenanya," kata Head Chef Alma by Juan Amador, Yew Eng Tong, dikutip dari CNA Lifestyle, Rabu (15/10/2025).
Baca juga: 5 Restoran Fine Dining di Kawasan Dagaran Yogyakarta
Usia penikmat tipe bersantap fine casual juga berbeda dengan fine dining. Bila dulu santap mewah hanya bisa dinikmati oleh orangtua, kini orang muda pun bisa merasakannya.
"Dulu orang yang makan fine dining mungkin umur 45 tahun ke atas. Sekarang orang yang makan di fine dining umur 27 tahun, anak-anak muda, tapi kan konsep mewahnya beda," kata Kevindra.
Baca juga: Mengapa Porsi Makanan di Restoran Fine Dining Kecil-kecil?
Tongseng Kambing di The Westin Jakarta.Konsep ini menghubungkan tipe fine dining dengan casual dining, gaya bersantap santai yang banyak ditemui di restoran kekinian.
"Tahun 2000-an awal, gap antara fine dining dan casual dining itu tinggi sekali. Kemudian muncul generasi milenial yang membawa genre baru yaitu lifestyle dining," jelas Kevindra.
Baca juga: Denpasar Masuk 10 Kota Terbaik untuk Fine Dining
Sekitar 20 tahun berikutnya atau masa kini, tren bersantap baru kembali muncul untuk menghubungkan gaya bersantap mewah fine dining dengan lifestyle dining. Ini lah yang disebut fine casual dining.
Bila fine dining mengharuskan tamu duduk berjam-jam untuk menikmati rentetan hidangan, fine casual dining tidak lagi demikian.
Gaya bersantap mewah yang terkesan intimidatif dengan segudang aturan formal, perlahan berubah menjadi lebih santai.
ilustrasi taplak putih di restoran fine dining. "Service-nya enggak kaku. Terus mejanya enggak perlu pakai taplak putih lagi jadi lebih kasual," tutur Kevindra.
Baca juga: Shio, Restoran Jepang Fine Dining di Pondok Indah yang Buka Lagi
Menurut Kevindra, tipe menu makanan yang ditawarkan di restoran fine casual juga berbeda.
Tidak lagi mengacu pada gaya makanan khas Perancis, fine casual dining di Indonesia justru diprediksi kian mengangkat bahan-bahan lokal.
"Ada jamur kulat pelawan dari Bangka Belitung yang bisa jadi bahan baku makanan mahal, ikan kakap dari Lombok, dan gula jawa Kulon Progo. Itu yang terjadi sebenarnya di genre fine casual, " kata dia.
Tidak lupa penggunaan bumbu dan rempah khas Tanah Air, seperti kecombrang dan andaliman.
Baca juga: Pengalaman Fine Dining di Pracimasana Pura Mangkunegaran, Berapa Harga Menunya?
Pengamat restoran sekaligus penulis kuliner, Kevindra Soemantri saat ditemui media di sela acara Marriott International?s Future of Food 2026 di The Westin Jakarta, Selasa (14/10/2025).Meski begitu, bukan berarti harga makanan fine casual lebih murah daripada fine dining. Semua tetap bergantung pada menu yang dipilih.
Berkaca pada restoran mewah di negara lain, seperti Jepang, yang mengandalkan bahan baku lokal dan tetap menjual makanannya dengan harga tinggi.
Sebab pada akhirnya, harga bahan baku yang mahal selaras dengan kualitas yang didapat oleh restoran.
Baca juga: Pertama di Indonesia, Bersantap Fine Dining di Teater Bawah Air
Hal ini membuat ekosistem pangan tercipta dengan baik. Petani mendapat harga tinggi, begitu juga dengan tamu yang bisa menikmati santapan mewah berkualitas baik.
Kevindra mengatakan, ia percaya restoran bisa menjadi agen perubahan yang berdampak pada sistem pangan di Indonesia.
"Enggak boleh dimurahin karena harga makanan itu ada hubungannya dengan memberdayakan petani. Jadi mereka (petani) punya sense of pride. Bahwa eh ternyata bahan baku saya bisa dibeli dengan mahal dengan restoran-restoran ini," jelas Kevindra.
"Kalau petaninya makmur, akhirnya makin banyak yang ingin jadi petani," pungkas dia.
Baca juga: 13 Cara Adakan Malam ala Fine Dining di Rumah, Bikin Suasana Istimewa
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang