KOMPAS.com – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk menghentikan sementara aktivitas tambang di wilayah Parung Panjang, Cigudeg, dan Rumpin, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Truk tambang yang biasanya memenuhi jalanan kini berhenti beroperasi karena produksi perusahaan dihentikan.
Kondisi ini membuat sebagian warga lega, tetapi menimbulkan keresahan bagi sopir dan pedagang yang selama ini bergantung pada aktivitas tambang.
Elisa (46), warga Parung Panjang, mengaku senang dengan suasana jalan yang lebih lengang. Tanpa truk tambang, kemacetan berkurang drastis.
"Ya senang gitu, enggak macet gitu kendaraannya. Bagus sekarang," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (1/10/2025).
Selain macet, debu jalanan juga jauh berkurang. "Debu juga enggak begitu banyak, yang penting macetnya itu. Macet kalau pas ada truk, kalau pagi tuh anak-anak sekolah susah, (berangkat) kerja juga macet, sore juga sama," jelasnya.
Baca juga: Kata Pemilik Lapak Batu soal Dedi Mulyadi Tutup Tambang Parung Panjang: Terpukul...
Hal serupa dirasakan Andri (20), pedagang gorengan di Jalan M Toha. "Menurut saya lebih bagus, enggak ada polusi, jalan enggak macet," katanya.
Berbeda dengan warga, pedagang warung seperti Ola justru mengeluh. Warungnya yang biasanya ramai sopir truk kini sepi pembeli.
"Dampaknya gede banget, sampai detik sekarang dari Pak KDM (Dedi Mulyadi) nutup perusahaan jadi dampaknya benar-benar luar biasa ke warung saya," kata Ola.
Ia bahkan pernah hanya mendapat pemasukan Rp 4.000 dalam sehari, jauh dari omzet normal Rp 1,3 juta. "Kemarin nol besar, tetapi kami tetap buka siapa tahu ada yang beli," tambahnya.
Sementara itu, Haris, seorang sopir truk tambang, juga merasa terpukul. Ia biasanya mendapat Rp 70.000–Rp 100.000 per rit saat mengangkut hasil tambang dari Cigudeg ke Tangerang.
Baca juga: Kali Rengas Meluap, Ratusan Warga Parung Bogor Terdampak Banjir
"Saya sebagai sopir (truk) adanya tambang ditutup kami blangsak semua," ucapnya.
Menurut Haris, bukan hanya sopir, tapi juga kuli angkut dan pedagang kecil ikut terdampak. "Keadilan, ditegakkan keadilan, yang seadil-adilnya, karena banyak yang dirugikan. Ditutup (aktivitas tambang) seperti ini sama saja 'membunuh' saya, 'membunuh' banyak orang," ujarnya.
Menanggapi protes tersebut, Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa penutupan tambang dilakukan demi kepentingan warga yang lebih luas. Ia menyoroti kerusakan jalan, polusi debu, kebisingan, hingga kecelakaan lalu lintas akibat truk tambang.
"Kalau giliran ada kebijakan gubernur yang mengembalikan kembali ketenangan hidup warga, agar bisa menikmati jalan dengan baik, terbebas dari debu, terbebas dari kebisingan, terhindar dari berbagai kecelakaan yang ditimbulkan karena angkutan yang besar-besar, pasti maju yang paling depan adalah rakyat yang paling bawah," katanya.
Dedi menegaskan, sejak 2019 hingga 2024, ada 195 orang meninggal dunia akibat kecelakaan yang melibatkan truk tambang, sementara 140 lainnya mengalami luka berat.
Baca juga: Truk Tambang Hilang, Parung Panjang Kini Lengang, Warga Senang Tak Lagi Makan Debu
"Saya paham para penambang kehilangan pendapatan, para pengusaha angkutan kehilangan pemasukan, sopir-sopir truk kehilangan pekerjaan. Namun, Anda juga harus paham, dari 2019 sampai 2024, ada 195 orang meninggal di jalan karena terlindas, tersenggol, atau bertabrakan dengan truk. Ada 140 luka berat. Pertanyaannya, 'ke mana Anda semua ketika banyak anak kehilangan bapaknya?'" tegasnya.