Sebelum sang raja mengembuskan napas terakhir, muncul tanda alam yang dianggap sebagai pertanda duka: pohon tua tumbang di Pesanggrahan Langenharjo, Sukoharjo.
Adik PB XIII, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Surya Wicaksana atau yang akrab disapa Gusti Neno, menuturkan bahwa pohon besar yang tumbang itu adalah pohon jambu mete yang sudah berusia puluhan tahun.
“Jadi pada 31 Oktober 2025 beberapa hari lalu, pohon itu tumbang saat hujan deras dan angin kencang. Menimpa bangunan semi permanen di dekat pendopo pesanggrahan,” ujar Gusti Neno kepada Tribunnews, Minggu (2/11/2025).
Tumbangnya Pohon Jambu Mete Dianggap Tanda Alam
Peristiwa pohon tumbang tersebut terjadi dua hari sebelum wafatnya Sinuhun Pakubuwono XIII.
Hal ini menimbulkan pembicaraan di kalangan masyarakat sekitar Keraton Solo dan Sukoharjo, yang mengaitkannya sebagai tanda alam atas kepergian sang raja.
“Dan memang biasanya di Pesanggrahan Langenharjo segala hal terkait alam itu memberikan semacam perlambang atau sinyal atau sasmita (tanda),” kata Gusti Neno.
“Iya apa tidaknya (kebenaran) itu tergantung masing-masing individu yang melihat lambang-lambang alam tersebut,” tambahnya.
Pesanggrahan Langenharjo sendiri merupakan tempat bersejarah peninggalan Pakubuwono IX, dibangun pada 1870 sebagai tempat semedi dan meditasi para raja Mataram Islam.
Lokasinya berada di Desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, sekitar 10 kilometer atau 20 menit perjalanan dari Keraton Kasunanan Surakarta.
Tempat ini berdiri di tepi utara Sungai Bengawan Solo, dikelilingi pepohonan besar yang menambah kesan teduh dan sakral.
Masyarakat percaya bahwa Pesanggrahan Langenharjo kerap menampilkan fenomena alam yang dianggap sebagai pertanda spiritual, terutama menjelang peristiwa besar di lingkungan Keraton Surakarta.
Gusti Neno merupakan adik ke-27 dari PB XIII, keduanya merupakan keturunan Pakubuwono XII yang memiliki 35 anak dari enam istri yang terdiri atas 15 putra dan 20 putri.
Sementara PB XIII sendiri adalah putra laki-laki tertua dari PB XII dan meninggalkan tujuh anak, termasuk KGPH Purbaya yang kini disebut sebagai putra mahkota penerus tahta.
Prosesi Pemakaman Pakubuwono XIII
Pakubuwono XIII wafat di Rumah Sakit Indriati, Sukoharjo, pada Minggu pagi sekitar pukul 07.30 WIB setelah mengalami komplikasi penyakit. Jenazah kemudian dibawa ke Keraton Kasunanan Surakarta sekitar pukul 10.45 WIB menggunakan ambulans.
Rencananya, jenazah akan diarak menggunakan kereta kencana pusaka yang ditarik delapan ekor kuda, menuju Loji Gandrung, sebelum melanjutkan perjalanan dengan ambulans ke Kompleks Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Adik kandung mendiang raja, KGPH Puger, menjelaskan bahwa kereta kencana pusaka itu terakhir kali dipugar pada masa pemerintahan Pakubuwono X.
“Kereta jenazah digunakan untuk mengantar dari dalam keraton hingga keluar. Dari sini ke Ndalem Wuryoningratan, baru ganti ambulans,” ujar KGPH Puger dikutip dari Tribun Solo.
Kereta pusaka tersebut disimpan di gedung penyimpanan kereta Talangpaten dan hanya digunakan saat mengiringi jenazah raja.
Setelah dimandikan, jenazah PB XIII disemayamkan di Masjid Pujosono, yang terletak di belakang Sasana Sewaka, sebelum diberangkatkan menuju Imogiri pada Rabu (5/11/2025). Prosesi akan melewati Magangan dan Alun-Alun Selatan (Kidul).
“Tidak ada prosesi adat khusus. Tata cara pemakaman raja pada dasarnya serupa dengan masyarakat umum, termasuk tradisi berobosan yang dilakukan di Paningrat, hanya saja lokasi pelaksanaannya berbeda,” jelas KGPH Puger.
Menurutnya, perbedaan utama adalah destinasi akhir pemakaman, karena raja memiliki masjid sendiri serta tempat khusus bernama Parasdya di kompleks makam.
Kondisi Kesehatan Sebelum Wafat
Salah satu kerabat keraton, KPH Eddy Wirabhumi, menuturkan bahwa PB XIII sempat dirawat beberapa kali dan kondisinya naik turun selama beberapa minggu terakhir.
“Iya, cukup lama, sebelum Adang Dal beliau sempat masuk rumah sakit, kemudian lumayan sehat dan kondur (pulang). Namun setelah acara Adang Dal itu, beliau sakit lagi, masuk lagi sampai sekarang,” ujar Eddy.
“Sebenarnya sudah lama beliau sakit. Terakhir komplikasi, termasuk gula darahnya tinggi dan seterusnya. Sudah sepuh juga,” tambahnya.
Pakubuwono XIII meninggal dunia pada usia 77 tahun, setelah berjuang melawan komplikasi penyakit yang dideritanya.
Bagi masyarakat Jawa, terutama yang masih menjaga tradisi keraton, tanda alam seperti pohon tumbang, suara binatang malam, atau perubahan cuaca mendadak kerap dimaknai sebagai sasmita atau sinyal spiritual.
Tumbangnya pohon jambu mete di Pesanggrahan Langenharjo dua hari sebelum wafatnya PB XIII menjadi peristiwa yang kembali mengingatkan masyarakat akan kuatnya hubungan antara alam dan kehidupan spiritual Jawa.
Artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Tanda Alam Sebelum Pakubuwono XIII Wafat, Ada Pohon Besar Tumbang di Pesanggrahan Langenharjo
https://www.kompas.com/jawa-tengah/read/2025/11/02/194500388/gusti-neno-ungkap-tanda-alam-sebelum-wafatnya-pb-xiii-pohon-tua