Perbedaan mencolok antara kedua keraton terletak pada sistem budaya dan adat.
Berdasarkan Perjanjian Jatisari, Keraton Yogyakarta memilih mempertahankan tradisi asli Mataram Islam, sedangkan Keraton Surakarta melakukan modifikasi dan inovasi budaya baru tanpa meninggalkan akar Jawa.
Tradisi di Yogyakarta umumnya bersifat lebih klasik dan konservatif, menjaga tata upacara seperti Grebeg Maulud, Sekaten, dan Labuhan Parangkusumo dengan struktur lama.
Sedangkan Keraton Surakarta lebih terbuka pada adaptasi budaya, termasuk gaya tarian, tata busana, dan bentuk upacara adat.
Contohnya, Tari Bedhaya Ketawang di Surakarta berkembang menjadi bentuk yang lebih ritualistik dan eksklusif, sementara tari klasik di Yogyakarta lebih menonjolkan filosofi spiritual dan nilai moral.
Pakaian adat juga menjadi pembeda utama antara dua keraton ini, terutama pada blangkon, penutup kepala khas pria Jawa.
Blangkon Yogyakarta memiliki mondolan atau tonjolan di bagian belakang.
Filosofinya adalah kemampuan masyarakat Jawa untuk menyimpan rahasia dan mengendalikan diri, baik terhadap aib sendiri maupun orang lain.
Motif batik yang sering digunakan untuk blangkon Yogyakarta antara lain modang, sido wirasat, jumputan, dan taruntum.
Sebaliknya, blangkon Surakarta tidak memiliki mondolan, bagian belakangnya datar dengan simpul kain diikat ke dalam.
Bentuk ini melambangkan kesatuan niat dan pikiran yang lurus serta menggambarkan keimanan dalam dua kalimat syahadat.
Motif batik yang digunakan biasanya keprabon, kesatrian, dan tempen, yang menonjolkan kewibawaan dan ketegasan.
Perbedaan lain dapat ditemukan pada gamelan, alat musik tradisional yang menjadi bagian penting budaya keraton.
Gamelan Yogyakarta berukuran lebih besar dan suaranya terdengar kuat, mencerminkan karakter Yogyakarta yang gagah dan tegas.
Sementara itu, gamelan Surakarta berukir lebih halus dengan nada lembut dan ritme lebih tenang, menggambarkan sifat elegan dan lembut khas budaya Solo.