JAKARTA, KOMPAS.com – Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, menilai fenomena “Job Hugging” sebaiknya tidak dilakukan anak muda.
Job hugging merujuk pada kondisi ketika karyawan bertahan di pekerjaannya, meski lingkungan kerja membuatnya tidak berkembang.
“Job hugging membuat pekerja tidak kompetitif untuk memperjuangkan kehidupannya lebih baik. Kita harus optimis bahwa kehidupan akan lebih baik, berkat daya juang kita untuk memperjuangkanya,” kata Aloysius saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/9/2025).
Baca juga: Apa itu Fenomena Job Hugging? Ini Penjelasan Pakar UGM
Ia menambahkan, job hugging bisa menjadi strategi bertahan hidup dalam situasi tertentu, misalnya saat ekonomi stagnan atau cenderung menurun.
Hal ini berlaku bagi pekerja yang sudah tidak muda lagi. Tetapi untuk anak muda, ia mendorong agar tetap berjuang memperbaiki kehidupannya.
Menurut Aloysius, kecenderungan job hugging biasanya dipengaruhi rasa aman dan persepsi risiko.
Karena itu, ia menyarankan manajer berperan aktif memberikan motivasi agar pekerja muda tidak terjebak dalam pola tersebut.
“Di samping itu para pekerja muda juga harus aktif talk to others agar jangan terjebak dalam job hugging,” ujarnya.
Baca juga: Cerita Para Pekerja Job Hugging: Mengapa Mereka Enggan Pindah Kerja?
Fenomena job hugging bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara. Para ahli menilai kondisi ini menjadi sinyal melemahnya pasar tenaga kerja dan meningkatnya tekanan keuangan.
Situasi tersebut juga menandai pergeseran budaya kerja. Jika sebelumnya banyak pekerja memilih pindah kerja demi kenaikan gaji, tren itu kini mulai berbalik.
“Beberapa tahun yang lalu, para pekerja cepat-cepat pindah kerja demi kenaikan gaji yang signifikan,” kata Matt Bohn, mitra klien senior di perusahaan konsultan dan manajemen bakat global Korn Ferry, kepada Newsweek.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang