KOMPAS.com - Kasus dugaan keracunan akibat mengonsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kali ini terjadi di Kabupaten Gunungkidul.
Ada sebanyak 695 siswa di Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, mengalami gejala keracunan setelah makan menu MBG dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Planjan Saptosari, Selasa (28/10/2025).
Anak-anak yang menjadi korban keracunan makanan merupakan murid dari SMP Negeri 1 Saptosari dan SMK Saptosari.
Baca juga: Usai Insiden Keracunan Massal, Dindikpora DIY Wajibkan Label Kedaluwarsa Makanan MBG
Ratusan murid yang hampir berjumlah 700 orang itu melaporkan mengalami mual, muntah, dan pusing beberapa jam setelah mengonsumsi menu MBG.
Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih saat sidak di SPPG Planjan, Kapanewon Saptosari, Rabu (29/10/2025)Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menilai lemahnya pengawasan teknis di dapur menjadi salah satu faktor utama insiden tersebut.
Menurut Sultan HB X, pelaksana di lapangan sering mengabaikan hal-hal mendasar seperti suhu penyimpanan daging dan waktu pengolahan makanan.
“Oh iya, soal keracunan itu saya tidak tahu pasti penyebabnya. Apakah karena masaknya terlalu pagi atau malam, saya tidak tahu persis,” ujar Sultan, seperti yang dikutip Tribun Jogja, Kamis (30/10/2025).
“Tapi selalu saya katakan, kalau memang jumlahnya terlalu banyak di luar kemampuan yang memasak, misalnya dimakan jam 08.00 atau jam 10.00, khususnya untuk sayur atau daging yang dimasak untuk banyak orang, mestinya kan membutuhkan es batu atau freezer,” ungkapnya.
Baca juga: Cek Dapur MBG, Wabup Pidie Jaya Tinju Kepala Dapur SPPG karena Nasi Dingin, Kini Minta Maaf
Ia menekankan bahwa makanan yang disiapkan dalam jumlah besar membutuhkan perlakuan khusus agar tetap aman dikonsumsi.
“Kalau untuk 40-50 orang, berarti berapa kilo daging atau sayur? Itu harus disimpan di tempat dingin,” terangnya.
“Kalau tidak didinginkan, lima jam saja bisa berubah warna jadi kebiruan. Kalau kemudian digoreng, ya bisa bikin mabuk, bisa menimbulkan keracunan. Itu logika sederhana, tidak perlu dokter pun bisa paham,” tandasnya.
Sultan HB X juga menekankan bahwa pengawasan administratif tidak cukup tanpa pemahaman teknis di lapangan.
“Sekarang masalahnya tinggal di pelaksanaan di lapangan. Bapak-bapak atau ibu-ibu, kan saya ngawasi bapak-bapak—orangnya tahu di dapur siapa? Meskipun dokter, orang tidak tahu apa yang terjadi di dapur,” ucapnya.
“Mungkin (mereka) tidak paham hal-hal seperti itu. Tapi kalau ibu-ibu, kan mungkin lebih mengerti. Jadi, harus telaten untuk mengawasi itu saja,” bebernya.
Baca juga: Gara-gara Nasi Dingin, Wabup Pidie Jaya Diduga Pukul Kepala SPPG-MBG