CIREBON, KOMPAS.com - Sebanyak 65 persen dari total pengeluaran belanja rumah tangga pada 82 kartu keluarga di Desa Matangaji, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, digunakan untuk membeli kebutuhan pangan.
Pengeluaran belanja rumah tangga kedua terbesar dialokasikan untuk kebutuhan pendidikan sebesar 16 persen, diikuti kebutuhan energi (listrik, kuota, dan lainnya) sebesar 6 persen.
Farida Mahri, Pendiri Yayasan Wangsakerta Cirebon, mengungkapkan bahwa kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menengah ke bawah menghabiskan uangnya untuk kebutuhan pangan.
Namun, ia mencatat bahwa kesadaran untuk menyediakan pangan secara mandiri di rumah dan lingkungan masing-masing masih sangat lemah.
Baca juga: Gubernur Papua Pegunungan Gunakan Helikopter untuk Pantau Banjir, Ada Potensi Krisis Pangan
"Lebih dari 60 persen masyarakat menghabiskan pendapatannya untuk belanja pangan," kata Farida kepada Kompas.com usai diskusi 'Peran Perempuan dan Kaum Muda dalam Pertanian Keluarga Menuju Sistem Pangan Berkelanjutan' di Saung Wangsakerta Cirebon, Minggu (7/9/2025) siang.
Farida menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan Yayasan Wangsakerta bersama pemerintah Desa Matangaji sejak tahun 2024 hingga saat ini.
Mereka memetakan geospasial, pertanian, pangan, sosial, ekonomi, dan lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Desa Matangaji memiliki banyak wilayah persawahan, mayoritas penduduknya justru membeli kebutuhan pangan daripada memanfaatkan hasil pertanian sendiri.
"Mayoritas mereka menjual hasil pertanian dan menggunakan uangnya untuk membeli kebutuhan pangan lagi."
"Mereka tidak menjadikan hasil panen sebagai sumber lumbung bersama yang dapat membentuk sistem ketahanan dan kedaulatan pangan mandiri," ujar Farida.
Baca juga: Tak Ingin Bali Krisis Pangan, Koster Minta Dinas Pertanian Belajar ke Israel
Hal serupa juga ditemukan di Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, yang merupakan basis nelayan.
Dalam penelitian yang sama, 74 kartu keluarga di desa ini, dengan 36 orang berprofesi sebagai nelayan, mengeluarkan biaya pangan sebesar 56 persen, diikuti dengan pendidikan sebesar 21 persen, dan kebutuhan peralatan nelayan sebesar 13 persen.
"Jadi meski mereka memiliki sumber pangan yang tinggi, lebih banyak hasil tangkapan dijual untuk mensubsidi kebutuhan pribadi lainnya. Berbeda dengan masa lalu, di mana kami memiliki lumbung pangan bersama di kampung," tambah Farida.
Dalam agenda "Gerakan Pertanian Keluarga", Farida berharap Pemerintah Indonesia, dari level pusat hingga desa, harus memperhatikan cadangan pangan masyarakat dengan melibatkan kaum perempuan dan pemuda.
Menurutnya, kedua aktor ini sangat penting dalam mencukupi kebutuhan pangan mandiri.