MEDAN, KOMPAS.com - Rentetan unjuk rasa yang menolak tunjangan rumah untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) berujung pada jatuhnya korban jiwa, luka-luka, dan hilangnya beberapa orang.
Pasca peristiwa tersebut, kelompok masyarakat sipil di Medan menggelar doa bersama dan menabur bunga untuk mengenang para korban.
Pada Sabtu (6/9/2025), menjelang matahari terbenam, massa yang terdiri dari petani, pedagang, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil membentuk lingkaran di Jalan Balai Kota.
Baca juga: Unjuk Rasa di Sejumlah Daerah, Okupansi Hotel di Kota Malang Sempat Turun 30 Persen
Mereka meletakkan foto-foto korban di tengah peserta aksi, kemudian memasang lilin, menabur bunga, dan berdoa sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
Salah satu peserta aksi, Lusty Malau, menyerukan agar masyarakat tidak melupakan para korban yang gugur dalam perlawanan rakyat di seluruh Indonesia sejak 25 hingga 30 Agustus 2025.
"Teman-teman, jangan pernah lupakan nama mereka. Mereka bukan statistik, satu nyawa itu bukan statistik. Satu nyawa itu adalah harga yang harus dibayar oleh pemerintah," tegas Lusty saat rekan-rekannya menabur bunga.
Lusty kemudian membacakan nama 10 korban yang meninggal dunia dan menyebutkan banyaknya korban yang hingga kini belum ditemukan.
"10 orang ini hadir di tengah-tengah kita dalam lilin-lilin yang kita nyalakan. Kita mengenang 10 figur yang berani bertaruh nyawa," tuturnya.
Baca juga: Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama Sultra Imbau Warga Tak Terprovokasi Unjuk Rasa Anarkistis
Sebelum berdoa dan menabur bunga, massa aksi menyampaikan sejumlah tuntutan.
Koordinator aksi, Anisa, menegaskan bahwa meskipun sebagian tuntutan masyarakat telah diakomodasi, seperti tunjangan rumah DPR RI, masih banyak yang belum dipenuhi. "Kami pun meminta supaya tunjangan DPR tersebut dialihkan kepada kebutuhan dasar rakyat, terutama pendidikan dan kesehatan," kata Anisa saat orasi.
Anisa juga meminta agar brutalitas kepolisian dihentikan dan seluruh demonstran yang ditahan secara sewenang-wenang dibebaskan. "Intimidasi, kriminalisasi terhadap aktivis yang bersuara atas nama keadilan juga supaya dihentikan," tegasnya.
Dia mendesak agar institusi kepolisian dievaluasi dan direformasi secara menyeluruh untuk menjadi lembaga yang profesional, akuntabel, demokratis, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, massa juga menuntut penolakan terhadap upah murah buruh dan meminta jaminan kesejahteraan bagi kelas pekerja, terutama kelompok rentan.
Mereka menyerukan agar segala bentuk perampasan ruang hidup rakyat dihentikan dan negara yang inklusif tanpa bias toxic maskulinitas diciptakan.
Terakhir, massa menolak multifungsi TNI, meminta agar TNI dikembalikan ke barak, serta mencabut Undang-Undang TNI.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini