SEMARANG, KOMPAS.com - Semarang menjadi rumah bagi jutaan umat beragama, hal itu ditandai dengan diberikannya predikat kota toleran peringkat ke-3 secara nasional pada Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 yang dirilis Institut SETARA.
Pengakuan ini didasarkan pada kemampuan kota dalam mengelola keberagaman dan mewujudkan kerukunan, di mana kehidupan masyarakat harmonis dan pemerintahnya berkomitmen menciptakan ruang inklusif.
Di balik gedung-gendung tua kota lama yang bersalipan dengan gedung-gedung pencakar langit yang kian banyak, tersimpan cerita perjuangan komunitas penghayat kepercayaan untuk mewariskan warisan nenek moyang.
Baca juga: 29 Warga Buleleng Ubah Status Agama Jadi Penghayat Kepercayaan
Cecep Sri Suryana, Generasi Muda Penghayat Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan asal Cimahi, Jawa Barat, membagikan ceritanya memilih berkuliah di Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Fakultas Bahasa dan Budaya, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang (Untag) Semarang.
“Saya memiliki pengalaman pribadi, sewaktu sekolah saya tidak mendapatkan pendidikan Kepercayaan, karena pada waktu itu belum ada guru atau penyuluh Kepercayaan, sehingga saya harus mempelajari Agama lain demi mendapatkan nilai agama,” ungkapnya saat bercerita pada Kompas.com pada Kamis, (30/10/2025).
Baca juga: Inklusi Day di Sumba Timur, Kekuatan Budaya Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan Marapu
Dari pengalaman tersebut, Cecep termotivasi untuk menjadi guru bagi murid penghayat Kepercayaan supaya mendapatkan hak untuk mendapatkan pelajaran agama atau kepercayaan sesuai apa yang mereka peluk.
Bagi Cecep, sangat penting bagi generasi muda Penghayat Kepercayaan untuk mendapatkan Pendidikan Kepercayaan yang sesuai dengan apa yang ia yakini.
“Mendapatkan akses pendikan kepercayaan itu penting karena walaupun semua ajaran Kepercayaan itu mengajarkan kebaikan, akan tetapi terdapat beberapa hal yang berbeda dalam melaksanakan atau penanaman ajarannya menyesuaikan dengan ajaran masing-masing,” jelasnya.
Cecep berharap pemerintah juga harus memperhatikan pendidikan bagi penghayat kepercayaan dengan dibukakannya formasi program Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“Saya berharap semoga dibuka PPG untuk penghayat kepercayaan, sehingga setelah lulus kita nanti bisa langsung mengikuti program tersebut supaya kompetensi meningkat dan mendapatkan sertifikat pendidik,” ujarnya.
Dalam proses pembelajaran, meskipun terbatas dan kurangnnya dukungan modul serta minimnya referensi mengenai keberagaman aliran kepercayaan di Indonesia, Cecep mengapresiasi mulai terbukanya pelayanan pemeritah terhadap hak-hak Penghayat Kepercayaan.
"Hingga saat ini puji syukur pelayanan hak-hak bagi penghayat Kepercayaan khususnya dalam bidang administrasi sudah terpenuhi, setelah dikeluarkan putusan Mahkamah Konstitisi Nomor 97/PUU-XIV/2016, masyarakat penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sudah bisa mencantumkan Kepercayaan dalam KTP dan KK, di daerah saya khususnya di Kota Cimahi, pelayanan administrasi tersebut sudah berjalan dengan baik,” ujarnya.
Ia berharap pelayanan juga semakin ditingkatkan di daerah lain, begitu pula juga peningkatan akses pendidikan untuk siswa penghayat kepercayaan di semua tingkatan pendidikan.