GAZA, KOMPAS.com – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, dan kelompok-kelompok hak asasi media mengecam serangan Israel di Gaza yang menewaskan lima jurnalis Al Jazeera.
Serangan itu terjadi pada Minggu (10/8/2025) dan menewaskan koresponden senior Anas Al Sharif bersama empat rekannya.
Israel menuduh Sharif sebagai anggota kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Hamas.
Baca juga: Greta Thunberg dan Aktivis Dunia Akan Berlayar Lagi Bawa Bantuan Kemanusiaan ke Gaza
Puluhan warga Gaza berkumpul di halaman Rumah Sakit Al Shifa, Kota Gaza, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada para jurnalis.
Mereka berdiri di tengah bangunan yang hancur akibat serangan udara, sementara jenazah dibawa melalui gang-gang sempit menuju pemakaman.
Direktur Rumah Sakit Al Shifa, Mohammed Abu Salmiya, mengatakan ada jurnalis lain yang juga tewas, yakni reporter lepas Mohammed Al Khaldi.
Al Jazeera menyebut empat karyawan lainnya yang tewas adalah koresponden Mohammed Qreiqeh, juru kamera Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa.
Serangan tersebut menghantam tenda yang digunakan jurnalis di luar gerbang utama rumah sakit.
Militer Israel mengeklaim memiliki dokumen yang menunjukkan Sharif bergabung dengan Hamas pada 2013.
Baca juga: Ini Daftar Lebih dari 145 Negara yang Mengakui Palestina
Dokumen itu juga memuat catatan cedera pada 2017, serta nama unit dan pangkat militernya.
Jurnalis lokal yang mengenal Sharif mengatakan ia pernah bekerja di kantor komunikasi Hamas untuk mempublikasikan kegiatan kelompok itu.
Sharif dikenal luas di Gaza sebagai salah satu wajah utama Al Jazeera yang melaporkan perang selama 22 bulan terakhir.
Kelompok kebebasan media menilai serangan itu sebagai pelanggaran berat hukum humaniter internasional.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, pada Senin (11/8/2025) menyatakan pihaknya mengecam pembunuhan tersebut.
Pesan anumerta Sharif yang ditulis pada April lalu dipublikasikan secara daring. Dalam pesan itu, ia mengatakan telah dibungkam dan meminta agar Gaza tidak dilupakan.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) pada Juli lalu sempat menyerukan perlindungan bagi Sharif.
Seruan itu muncul setelah juru bicara militer Israel mengunggah pernyataan daring yang memicu kekhawatiran keselamatan Sharif.
CPJ menuduh Israel sering melabeli jurnalis sebagai militan tanpa bukti kredibel.
"Hukum internasional dengan jelas menyatakan bahwa kombatan aktif adalah satu-satunya target yang dibenarkan dalam situasi perang," kata Kepala Eksekutif CPJ, Jodie Ginsberg, kepada AFP.
"Kecuali Israel dapat membuktikan bahwa Anas Al Sharif masih seorang kombatan aktif, maka tidak ada pembenaran atas pembunuhannya," ujarnya.
Al Jazeera menyebut serangan itu sebagai upaya membungkam suara yang menyoroti pendudukan Israel, terkait perang di Gaza.
Baca juga: Netanyahu: Serangan Baru ke Gaza Akan Segera Dimulai
Media asal Qatar itu menggambarkan Sharif sebagai salah satu jurnalis paling berani di Gaza.
Reporters Without Borders mencatat hampir 200 jurnalis telah tewas sejak perang pecah akibat serangan Hamas pada Oktober 2023.
Israel melarang jurnalis internasional masuk ke Gaza kecuali melalui kunjungan yang dikontrol ketat bersama militer.
Serangan terhadap tim berita Al Jazeera terjadi beberapa hari setelah kabinet keamanan Israel menyetujui rencana mengirim pasukan ke Gaza.
Rencana ini memicu kritik domestik dan internasional.
Jerman, salah satu pemasok senjata utama Israel, mengumumkan penangguhan pengiriman senjata yang dapat digunakan di Gaza.
Australia bergabung dengan negara Barat lain yang mengakui negara Palestina.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pihaknya akan menaklukkan seperempat wilayah Gaza yang belum dikuasai, termasuk Kota Gaza dan Al-Mawasi.
Rencana itu dilaporkan memicu perbedaan pandangan antara pemerintah dan pimpinan militer Israel.
PBB dan badan kemanusiaan mengecam rencana tersebut karena dinilai akan memicu bencana baru di Gaza.
Baca juga: Tentara Israel Bunuh Diri 2 Hari Sebelum Kembali Bertugas di Gaza
Asisten Sekretaris Jenderal PBB Miroslav Jenca memperingatkan potensi terjadinya krisis kemanusiaan yang lebih parah.
Bulan lalu, badan-badan PBB sudah memperingatkan adanya kelaparan di Gaza akibat ketatnya pembatasan bantuan oleh Israel.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini