Penulis: Hridi Kundu/DW Indonesia
NEW DELHI, KOMPAS.com - Yoga yang dipraktikkan di India diyakini telah berusia antara 3.000 hingga 6.000 tahun, menjadi kontribusi budaya utama India untuk dunia.
Yoga merupakan interaksi antara tubuh, pikiran, dan napas, yang menggabungkan fisik, teknik pernapasan, meditasi, dan prinsip etika. Dalam beberapa dekade terakhir, praktik yoga telah menjadi fenomena global.
Lewat hari perayaan yoga sedunia, pertukaran kultur, dan program edukasi, yoga tidak sekadar praktik kesehatan tetapi telah berkembang menjadi ekspresi identitas budaya dan kehadiran India di seluruh dunia.
Upaya Perdana Menteri India Narendra Modi yang mengusulkan penetapan Hari Yoga Internasional dalam pidatonya di Majelis Umum PBB berbuah hasil. Pada akhir tahun 2014, PBB menyatakan tanggal 21 Juni sebagai Hari Yoga Internasional.
Sejak saat itu, Yoga menjadi simbol kebanggaan budaya dan identitas nasional India.
Baca juga: Kemenangan Diplomasi, Kamboja Berhasil Turunkan Drastis Tarif Trump
Pada 21 Juni 2023, Modi memimpin perayaan Hari Yoga Internasional di markas besar PBB di New York, tempat di mana ia pertama kali mengusulkan gagasan tersebut,
Chaitanya Prasad, mantan pegawai negeri sipil India, memandang yoga sebagai kekuatan transformatif yang memperkuat perasaan persatuan dan harmoni di tengah dunia yang semakin terfragmentasi dan tidak stabil.
Setiap kali seseorang membuka gulungan matras yoga untuk memulai latihannya, mereka terhubung dengan warisan India yang kaya, kata Prasad.
"Hal ini menjadi soft power (kekuatan lunak) India," klaim Prasad.
Baca juga: Labubu Jadi Diplomasi Soft Power China: Mainan Imut, Dampak Besar
Venkat G Hegde, seorang profesor hukum internasional di Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, melihat promosi yoga sebagai bagian dari upaya pemerintah India untuk melestarikan dan memperkuat sistem pengetahuan tradisional.
Kementerian Ayurveda, Yoga & Naturopati, Unani, Siddha, Sowa Rigpa dan Homeopati (AYUSH) India yang berfokus pada pengembangan, pendidikan, penelitian dan penyebaran pengobatan tradisional, telah mendorong promosi yoga baik di ranah nasional hingga global.
Di tingkat global, AYUSH telah bekerja sama dengan beberapa negara Eropa, Federasi Yoga Eropa, dan kelompok regional seperti Prakarsa Teluk Benggala untuk Kerja Sama Teknis dan Ekonomi Multi-Sektoral (BIMSTEC), untuk mengembangkan dan mempromosikan sistem pengobatan tradisional.
Kementerian India dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga bersama-sama meluncurkan aplikasi seluler, Myoga, untuk menyebarkan yoga secara global.
Baca juga: Rumah Nusantara Diresmikan di Rusia, Jadi Simbol Diplomasi Pendidikan Indonesia
Ajay Darshan Behra, profesor hubungan internasional di Universitas Jamia Milia Islamia, mengatakan memberikan dukungan untuk yoga di luar negeri adalah diplomasi budaya di tingkat akar rumput .
"Ikatan antarmasyarakat seringkali lebih kuat daripada ikatan antarnegara," jelas Behra kepada DW.
Dia menambahkan bahwa yoga mengingatkan dunia bahwa India bukan sekadar memiliki kekuatan politik dan ekonomi, tetapi juga kekuatan peradaban, dengan pengaruh budaya, spiritual, dan sejarah yang luar biasa bagi dunia.
Behra juga menunjukkan bahwa promosi yoga di India tidak menimbulkan rasa takut atau ancaman oleh negara lain, ini menjadi keuntungan New Delhi.
"Ia tidak kontroversial, tidak mengandung kekerasan, dan memiliki daya tarik universal. Ia membangun pengaruh secara diam-diam, tidak seperti kekuatan militer atau ekonomi," papar Behra.
Baca juga: Negosiasi Nuklir Iran-AS di Roma: Jalan Diplomasi di Tengah Gejolak Geopolitik
Namun di negara-negara Barat, yoga umumnya terbatas pada aspek fisik asana atau postur. Yoga sering kali diiklankan oleh orang-orang berkulit putih dan bertubuh ramping. Hal ini memicu kritik.
Yoga diduga telah memperkuat stereotip tersebut dan mengecualikan orang-orang yang tidak sesuai dengan norma kecantikan yang sering diiklankan.
Terdapat juga kritik tentang apropiasi budaya serta komersialisasi berlebihan yoga yang disampaikan Sangeeta Lerner, instruktur yoga asal India di Berlin.
Lewat workshop Decolonize Yoga, Lerner mendorong praktik yoga yang menghormati filosofi dan warisan budaya India tanpa melakukan apropiasi.
Baca juga: Trump, Zelensky, dan Politik Realisme Keras: Diplomasi Jadi Pertunjukan Kekuasaan
Industri yoga global saat ini diperkirakan menghasilkan lebih dari 35 miliar euro atau Rp 673 triliun lewat kelas-kelas yoga, retret, perlengkapan yoga, buku, majalah, dan stik aromaterapi, menurut perusahaan periset pasar, Allied Market Research.
"Saat ini, yoga sebagian besar dipraktikkan oleh kaum elit dan kaya, seringkali menjauhkan yoga dari realitas kaum yang terpinggirkan," kata profesor Hegde.
Profesor Behra juga menyatakan kekhawatiran akan yoga yang kehilangan karakter universalnya ketika dikaitkan dengan agenda politik.
Dia merujuk upaya Partai Bharatiya Janata yang berkuasa di India yang menggunakan yoga untuk membangkitkan kebanggaan umat Hindu dan mempromosikan agama Hindu yang dianut mayoritas penduduk India.
"Ini membatasi inklusivitas yoga dan menghilangkan esensi spiritualnya," jelas Behra.
Artikel ini pernah tayang di DW Indonesia dengan judul: Yoga, Diplomasi Budaya India untuk Dunia.
Baca juga: Trump 2.0 dan Transformasi Global: Era Baru Diplomasi Transaksional
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini