BEOGRAD, KOMPAS.com – Polisi Serbia menggunakan gas air mata dan granat kejut untuk membubarkan aksi unjuk rasa di kampus Universitas Novi Sad, Jumat (5/9/2025).
Ribuan pengunjuk rasa menuntut pemilu cepat dengan harapan dapat menggulingkan Presiden Aleksandar Vucic dan Partai Progresif Serbia (SNS) yang berkuasa.
Kerumunan demonstran berkumpul di area kampus universitas negeri pada malam hari.
Baca juga: Serbia Membara, Ratusan Ribu Orang Blokade Jalan Tuntut Pemilu
Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Kami tidak ingin blokade, kami ingin pemilu” dan “Mahasiswa memiliki satu tuntutan mendesak: Adakan pemilu”. Massa juga berulang kali meneriakkan “Vucic, pergi!”.
Bentrokan pecah di depan Fakultas Filsafat. Demonstran melemparkan suar, sementara aparat menembakkan gas air mata dan granat kejut untuk membubarkan kerumunan.
Presiden Vucic menyampaikan, sedikitnya 11 polisi terluka akibat bentrokan tersebut. Namun, tidak ada laporan resmi mengenai jumlah korban dari pihak demonstran.
“Kami tidak akan membiarkan penghancuran lembaga-lembaga negara. Serbia adalah negara yang kuat dan bertanggung jawab,” ujar Vucic kepada wartawan, dikutip dari Reuters pada Sabtu (6/9/2025).
Ia menuding ada campur tangan dinas keamanan asing di balik gelombang protes tersebut. Vucic juga mengumumkan bahwa para pendukungnya akan menggelar aksi tandingan di sejumlah kota pada Minggu (7/9/2025).
Protes terhadap Vucic dan SNS telah berlangsung berbulan-bulan di berbagai wilayah Serbia. Demonstrasi itu dipicu runtuhnya atap stasiun kereta api yang baru direnovasi di Novi Sad pada November lalu, yang menewaskan 16 orang.
Sejauh ini, sebagian besar aksi berlangsung damai, hingga pada 13 Agustus lalu terjadi bentrokan yang menyebabkan puluhan warga sipil dan aparat terluka.
Para pengunjuk rasa menuding korupsi pemerintah menjadi penyebab tragedi di stasiun Novi Sad. Mereka mendesak pemilihan umum dini untuk membuka jalan pergantian kepemimpinan.
Mahasiswa, kelompok oposisi, dan pengawas antikorupsi juga menuding Vucic serta sekutunya memiliki keterkaitan dengan kejahatan terorganisir.
Yakni menggunakan kekerasan terhadap lawan politik, dan menekan kebebasan pers. Tuduhan tersebut dibantah oleh pemerintah.
Baca juga: Staf Kim Jong Un Bersihkan Jejak di China, Langkah Ekstrem Hindari Spionase?
“Solusinya adalah mengadakan pemilu,” kata Nebojsa Korac, salah satu pengunjuk rasa.
“Di pihak kami, kami ingin perdamaian dan demokrasi terwujud, serta lembaga politik menjalankan tugasnya. Itu berarti mengadakan pemilu, dan itu akan menjadi solusinya, karena pemerintahan akan berganti,” ujarnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini