KOMPAS.com - Novel Tokyo-to Dojo-to atau Tokyo Sympathy Tower menuai kontroversi usai penulisnya, Rie Qudan mengaku bahwa karya tersebut sebagian dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI).
"Ini adalah novel yang ditulis dengan memanfaatkan sepenuhnya AI generatif," kata Qudan, dikutip dari Smithsonian Magazine.
Meski ditulis menggunakan ChatGPT, novel tersebut memenangkan penghargaan Akutagawa untuk penulis baru atau yang sedang naik daun pada 2024.
Komite penghargaan bahkan memuji novel Tokyo Sympathy Tower sebagai karya praktis tanpa cela.
Tokyo Sympathy Tower berkisah tentang tokoh utama, arsitek Sara Makina, yang ditugaskan merancang sebuah menara di Tokyo untuk menampung para penjahat yang telah dihukum.
Menara itu menjadi representasi dari apa yang disebut salah satu tokoh sebagai "keluasan pikiran luar biasa masyarakat Jepang". Sebab, menara ini akan menampung para pelaku kejahatan sehingga bisa hidup nyaman dan penuh kasih.
Menurut pengakuan Qudan, novelnya itu ditulis berdasarkan inspirasi dari tragedi pembunuhan mantan perdana menteri Shinzo Abe pada Juli 2022.
"Orang yang menembaknya menjadi pusat perhatian di Jepang dan latar belakangnya mengundang banyak simpati dari orang-orang," kata dia.
Baca juga: Saat ChatGPT Jawab Pertanyaan Bagaimana Mengubah 10 Dollar Jadi 1 Juta Dollar
Qudan mengaku tidak kecewa dengan hasil karyanya yang dibuat dengan ChatGPT.
Penulis berusia 34 tahun itu bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa sekitar 5 persen tulisan di dalam novelnya merupakan hasil karangan AI.
Bagian cerita yang ditulis menggunakan ChatGPT adalah interaksi antara tokoh dengan AI.
Qudan sendiri mengaku mendapat banyak inspirasi untuk novelnya ketika berinteraksi dengan AI. Dia sadar bahwa AI dapat merefleksikan proses berpikir manusia dengan cara yang unik.
Oleh karena itu, Qudan menyampaikan bahwa penggunaan AI dimaksudkan bukan untuk menipu pembaca, melainkan untuk membantu melihat dampak AI terhadap kehidupan nyata.
Salah satu karakter dalam novelnya merasa iba dengan chatbot ChatGPT yang dikutuk dalam kehidupan hampa yang terus-menerus memuntahkan bahasa atas perintah manusia.
Ironinya, chatbot ChatGPT itu dikisahkan tidak memahami apa arti dari kumpulan kata-kata yang dipotong-tempel saban hari tersebut.