Ia juga menekankan bahwa Jejak Banon menjadi pengingat akan sejarah panjang dakwah Islam di Tanah Jawa yang dilakukan dengan cara damai dan bijaksana.
“Masyarakat Yogyakarta patut bersyukur masih bisa menyaksikan tradisi langka yang sarat nilai spiritual sekaligus nilai sejarah,” tambahnya.
Setelah prosesi Jejak Banon, gamelan Sekati Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga yang ditabuh di Pagongan Kompleks Masjid Gedhe kemudian dikembalikan ke Keraton melalui prosesi Kondur Gangsa.
Prosesi ini menandai berakhirnya perayaan Sekaten dan menjadi pengantar menuju puncak Garebeg Mulud Tahun Dal pada Jumat (5/9).
Sekaten sendiri telah berlangsung sejak masa Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, sebagai media dakwah para wali.
Baca juga: 12 Tradisi Maulid Nabi di Indonesia, dari Sekaten hingga Mengayun Bayi
Melalui lantunan gamelan, masyarakat diajak mendekat ke masjid untuk mendengarkan syiar Islam.
Hingga kini, tradisi tersebut tetap hidup dan dijaga sebagai warisan budaya sekaligus spiritual oleh Keraton Yogyakarta.
“Setiap detail prosesi Sekaten mengandung makna mendalam. Jejak Banon mengajarkan kita untuk berani melangkah, menapak masa lalu sekaligus menatap masa depan dengan keyakinan."
"Inilah warisan luhur yang terus dijaga agar generasi mendatang memahami nilai budaya serta spiritualitasnya,” pungkas KRT Kusumonegoro.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini