MAKASSAR, KOMPAS.com – Seorang terdakwa anak di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan, berinisial DS, tak kuasa menahan haru setelah mendapatkan bantuan tak terduga dari hakim yang memimpin perkaranya.
Hakim PN Makassar, Johnicol Richard Frans Sine, menebus ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) milik DS yang tertahan di sekolah karena tunggakan biaya.
Langkah kecil namun bermakna itu membuka jalan bagi DS untuk kembali melanjutkan pendidikan.
“Hakim tergerak hatinya untuk membantu menebus ijazah SMP karena pihak sekolah tidak memberikan ijazah sebelum utang uang sekolah dan SPP dilunasi,” kata Johnicol saat dikonfirmasi, Jumat (31/10/2025).
Baca juga: Polisi Tangkap Remaja Provokator Tawuran di Makassar, Busur Panah Dirakit Sendiri
DS merupakan terdakwa anak dalam kasus kepemilikan senjata tajam jenis busur panah, yang kerap digunakan dalam aksi tawuran geng motor.
Ia didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Namun, dari fakta persidangan terungkap bahwa busur tersebut bukan milik DS.
“Busur itu diberikan kepada saksi lain, orang dewasa. Dia hanya bawakan saja, bukan dia yang buat, hanya temukan di samping rumahnya,” jelas Johnicol.
Momen yang mengubah pandangan hakim itu terjadi di tengah persidangan. Johnicol menanyakan kepada DS mengapa ia tidak bersekolah.
“Anak ini ternyata tidak bisa sekolah karena ijazah SMP-nya masih ditahan, ada utang sekolah. Saat itu dia menangis ke orang tuanya di depan saya, bilang ingin sekali sekolah, tapi bapaknya tidak mampu,” tutur Johnicol.
Baca juga: Kisah Siswa di Aceh Timur Nyaris Putus Sekolah karena Tak Punya Uang Jajan
Orang tua DS diketahui memiliki enam anak dan hidup dalam keterbatasan ekonomi.
Melihat kondisi itu, Johnicol akhirnya memutuskan membantu menebus tunggakan sekolah sebesar Rp 1,5 juta agar ijazah DS bisa diambil.
“Jumlahnya memang tidak besar, tapi semoga bisa membantu anak dan orang tuanya. Kasus seperti ini memprihatinkan,” ujarnya.
Johnicol menegaskan, apa yang dilakukannya bukan hanya tindakan simpati, tetapi bentuk penerapan keadilan restoratif dan pendekatan kemanusiaan.
“Keadilan bukan hanya terbatas di ruang sidang. Lebih dari itu, tugas hakim adalah memulihkan harkat sosial dan memberi kesempatan kedua, terutama bagi anak yang masih punya masa depan,” katanya.
Dengan ijazah yang kini sudah ditebus, DS berpeluang melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
“Hakim memberikan kesempatan kedua bagi pelaku anak tersebut untuk bisa menggapai kembali masa depannya. Kami hanya menjalankan tugas kemanusiaan dengan rasa peri keadilan,” tutur Johnicol.
Langkah kecil sang hakim menjadi pengingat bahwa di balik putusan hukum, masih ada ruang bagi nurani dan empati untuk mengembalikan masa depan seorang anak.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang