
NEGARA telah membangun infrastruktur secara masif, khususnya dalam sepuluh tahun terakhir. Pembangunan infrastruktur digadang-gadang sebagai fondasi kemajuan yang akan membawa kita pada pertumbuhan dan kesejahteraan.
Salah satu infrastruktur yang paling getol dibangun adalah jalan tol untuk mendukung mobilitas masyarakat serta distribusi logistik.
Menurut Kantor Staf Presiden (2024), pemerintah telah membangun 2.700 kilometer jalan tol baru yang tersebar di seluruh Indonesia selama rentang 2015 hingga 2024.
Pencapaian yang fantastis ini tentunya layak dan perlu diapresiasi. Namun demikian, manfaat yang diharapkan dari pembangunan jalan tol ternyata masih jauh panggang dari api.
Bahkan, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo dalam rapat bersama Komisi V DPR RI baru-baru ini, justru mengeluhkan minimnya pengguna pada 21 ruas jalan tol di Indonesia.
Menurut Menteri PU, realisasi volume lalu lintas pada ruas-ruas tersebut bahkan tidak sampai 50 persen dari asumsi dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT).
Kondisi ini menyebabkan kerugian yang besar bagi badan usaha jalan tol (BUJT) selaku pengelola karena rendahnya pendapatan serta tingginya biaya operasional dan pemeliharaan.
Menteri PU juga mengakui bahwa masalah ini berimbas pada tidak optimalnya pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM) di jalan tol.
Baca juga: Gaya Koboi Menteri Purbaya: Antara Autentisitas dan Branding Politik
Sejumlah operator lantas berupaya mencari solusi menghadapi situasi besar pasak daripada tiang yang terjadi.
Waskita Karya, misalnya, berencana melepaskan kepemilikan pada sejumlah ruas seperti Jalan Tol Pemalang-Batang dan Jalan Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat.
Jasa Marga bahkan mengambil langkah yang terbilang ekstrem karena berniat mengembalikan konsesi Jalan Tol Manado-Bitung kepada pemerintah.
Masalah-masalah tersebut tentu membuat kita geleng-geleng kepala. Pembangunan infrastruktur yang diharapkan membawa manfaat justru mendatangkan mudarat.
Jalan tol sepi pengguna, membebani pengelola, dan merugikan negara karena manfaatnya tidak terdayagunakan. Pertanyaannya, apa dan siapa yang salah?
Penyebab utama sepinya jalan tol adalah tarif yang tinggi. Sebagai gambaran, biaya melintas bagi kendaraan golongan 1 mencapai Rp 1.200 per kilometer di Jalan Tol Manado-Bitung, Rp1.300 di Jalan Tol Bengkulu-Taba Penanjung, dan Rp 1.600 di Jalan Tol Krian-Legundi-Bunder-Manyar.
Praktis tidak ada lagi ruas jalan tol dengan tarif di bawah Rp 1.000 per kilometer sebagaimana dulu sering digembar-gemborkan pemerintah.