Ia membeberkan salah satunya telaga yang terletak dalam cekungan lantai hutan di Bowo Sie yang airnya mengalir deras keluar lewat Wae Nahi, Liang Raba di Sernaru, kemudian mengalir membentuk aliran Wae Kelambu yang bermuara di Pasar Lama Labuan Bajo.
Baca juga: Rokok Ilegal Marak di Labuan Bajo, Pemkab Bentuk Satgas Khusus
Setelah hutan menipis, aliran itu hanya bertahan beberapa bulan sebelum kembali mengalir.
Hal lainnya, menurut dia, adalah penyempitan aliran air oleh bangunan di dalam kota Labuan Bajo.
Paling nyata adalah pembangunan saluran air di Lamtoro, yang dibuat lebih sempit dari kondisi awal yang seharusnya lebih lebar, karena harus mengalah pada bangunan-bangunan yang cenderung merampas area aliran air.
"Kita tampaknya tidak punya daya untuk mengatur diri agar lebih mempertimbangkan kondisi alam ketika membangun, agar alam akan selalu ramah kepada kita. Pun, seperti malas berpikir atau memang tidak mampu mengantisipasi perubahan iklim sehingga dapat menyesuaikan dengan bagaimana kita membangun infrastruktur fisik sehingga tidak cemas pada saat cuaca ekstrem," ungkap Doni.
Ia menyampaikan bahwa menanam pohon dan memungut sampah hanyalah kegiatan-kegiatan seremonial yang dilakukan demi pencitraan belaka, dan tidak pernah dilakukan dengan serius, karena tidak ada kelanjutan perawatan yang serius.
"Coba perhatikan, berapa banyak pohon yang berhasil tumbuh setelah banyak penanaman yang menghabiskan banyak anggaran. Nah, sekarang bagaimana kita menjadi cemas dan saling menyalahkan ketika terjadi cuaca ekstrem, air mencari jalannya, meluncur deras ketika semua penyangga-penyangga alaminya telah kita hancurkan," ujar Doni.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini