Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhardis
PNS

Saat ini bekerja sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN

"Rayap Besi": Metafora Ekologis dan Cermin Kerusakan Sosial

Kompas.com - 29/10/2025, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berita tentang “puluhan rayap besi” yang ditangkap menambah bobot makna ini. Penanda “puluhan” memberi kesan ancaman yang masif dan sistemik: bukan satu dua individu nakal, tetapi gejala sosial yang merebak seperti koloni rayap.

Mereka bekerja dalam senyap, tidak terlihat di permukaan, tetapi meninggalkan kehancuran yang nyata.

Dengan metafora ini, para pelaku bukan hanya dikategorikan sebagai kriminal, melainkan simbol penyakit sosial yang merusak dari dalam—bagian dari ekosistem moral yang rapuh, bukan?

Menariknya, rayap dalam ekologi muncul karena ada yang tidak dijaga. Ia hidup di celah, di ruang yang lembap dan dibiarkan.

Baca juga: Kini, Pemuda Bersumpah Tanpa Keteladanan

Artinya, dalam kerangka sosial, rayap besi tidak muncul begitu saja; mereka hadir karena kelalaian struktural—pengawasan yang lemah, kesenjangan ekonomi, atau sistem yang membiarkan peluang penyimpangan kecil tumbuh tanpa penanganan serius.

Kasus pencurian besi jembatan penyeberangan orang (JPO) di Cakung, Jakarta Timur (tvOnenews.com, 9/6/25), rayap besi yang menggasak 1 unit mesin AC Outdoor di Aceh (aceh.viral, 7/6/25), maupun pencurian besi pembatas salah satu jembatan di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa rayap besi bukan hanya “musuh” dari luar, tetapi juga cerminan dari kekosongan tanggung jawab.

Istilah ini menjadi kuat karena disebarkan oleh media, bukan hanya oleh masyarakat. Ketika media mengadopsi metafora ekologis seperti ini, ia memperkuat bingkai moral tertentu bahwa kejahatan harus dipahami layaknya wabah alam—datang diam-diam, menjalar perlahan, tapi mematikan bila tak segera diberantas.

Bahasa media, dalam hal ini, menjadi alat moral sekaligus politik. Ia tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga mengarahkan emosi dan opini publik terhadap pelaku kejahatan serta lembaga yang menanganinya.

Melalui rayap besi, media seolah membangun citra diri kota sebagai rumah, aparat dan masyarakat sebagai penjaga, serta kriminal sebagai hama.

Narasi ini memberi legitimasi moral bagi tindakan penegakan hukum dan sekaligus menegaskan batas antara “kami” yang menjaga dan “mereka” yang merusak.

Namun di balik kekuatan metafora ini, tersimpan peringatan bahwa rayap hanya berkembang di rumah yang dibiarkan rapuh. Artinya, masalah sosial yang berulang bukan hanya tentang pelaku, tetapi juga tentang sistem yang tidak belajar.

Baca juga: Soeharto, Pahlawan Bangsa Pemaaf

Dengan demikian, istilah rayap besi tidak sekadar memperkaya kosakata, melainkan membuka refleksi mendalam tentang hubungan antara bahasa, lingkungan, dan moralitas sosial.

Ia menegaskan bahwa dalam kebudayaan kita, hewan bukan sekadar bagian dari ekosistem alam, melainkan cermin perilaku manusia itu sendiri.

Di satu sisi, metafora ini efektif untuk menggugah kesadaran publik. Namun di sisi lain, ia menantang pemerintah dan masyarakat untuk tidak sekadar “membasmi rayap”, melainkan memperbaiki struktur rumah tempat rayap itu muncul.

Karena sejatinya, dalam rumah yang kuat dan terjaga, rayap takkan punya tempat untuk tumbuh, bukan?

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau