JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melakukan manuver dalam agenda negosiasi dagang.
Kali ini, Trump berpotensi memberikan tarif nol persen untuk sejumlah barang dari empat negara di Asia Tenggara.
Keempat negara tersebut adalah Malaysia, Thailand, Kamboja dan Vietnam. Dalam perintah eksekutif awal, Trump mengenakan tarif resiprokal 19 persen untuk Malaysia, Thailand dan Kamboja.
Baca juga: Wall Street Cetak Rekor, Pertemuan Trump-Xi Jinping jadi Katalis Utama
Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat beranjak meninggalkan Kuala Lumpur, Malaysia, menuju Jepang melalui Bandara Internasional Kuala Lumpur pada 27 Oktober 2025.Sementara Vietnam terkena tarif 20 persen.
Namun pada Minggu (26/10/2025) lalu, White House menyampaikan bahwa pemerintah AS akan mengidentifikasi produk-produk dari daftar yang tercantum dalam Lampiran III Perintah Eksekutif 14346 tanggal 5 September 2025.
Hal ini terkait dengan potensi penyesuaian tarif bagi mitra sejajar (aligned partners) untuk menerima tarif resiprokal nol persen.
Aksi Trump ini menarik perhatian dari pelaku industri di Indonesia. Sebab, perbedaan tarif antara Indonesia dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara bisa mengubah peta dan kompetisi ekspor produk ke pasar Negeri Paman Sam.
Baca juga: Trump Naikkan Tarif Impor Kanada 10 Persen Gara-gara Iklan Reagan
Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anne Patricia Sutanto melihat penyesuaian tarif resiprokal AS terhadap Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Kamboja, menunjukkan arah kebijakan dagang yang semakin selektif dan berbasis kepentingan strategis.
Langkah ini bisa membuka babak baru dalam dinamika persaingan ekspor di kawasan.
Ilustrasi ekspor Indonesia, kegiatan ekspor impor.Secara makro, Anne mengungkapkan, eksposur Indonesia terhadap perekonomian AS dan global relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Nilai ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen atau sekitar 26 miliar dollar AS dari total ekspor sebesar 238 miliar dollar AS.
Namun jika dilihat secara mendalam, kebijakan tarif resiprokal AS berpotensi berdampak cukup besar pada sejumlah sektor. Anne pun menegaskan dampak terhadap Indonesia dari penyesuaian tarif AS kepada empat negara tetangga perlu dilihat secara sektoral dan berbasis komoditas.
Baca juga: Trump Mau Temui Xi Jinping di Korsel, Bahas Perdagangan dan Isu Taiwan
Anne menyoroti industri padat karya seperti pakaian dan aksesori pakaian (rajutan), furnitur, dan alas kaki. Sebab, barang-barang hasil industri padat karya banyak yang bergantung kepada pasar AS.
Sebagai gambaran, 61 persen ekspor pakaian dan aksesori pakaian (rajutan) ditujukan ke pasar AS. Selain itu, ada produk furnitur dan lampu (59 persen), olahan ikan dan krustasea (56 persen), barang kulit (56 persen), pakaian bukan rajutan (49 persen), mainan dan perlengkapan olahraga (45 persen), serta alas kaki (33 persen).
Anne mengingatkan ada potensi tekanan kompetitif yang perlu diantisipasi dengan negara pesaing seperti Vietnam dan Kamboja.
Kedua negara ini bersaing dengan Indonesia pada sejumlah produk industri padat karya seperti pakaian dan aksesori hingga alas kaki.
Baca juga: Trump Ampuni Pendiri Binance, Sinyal Dukungan Baru untuk Dunia Kripto
"Jika penyesuaian tarif resiprokal tersebut memberikan preferensi tambahan bagi Vietnam dan Kamboja, risiko trade diversion akan semakin besar, terutama bagi sektor-sektor padat karya yang sangat bergantung pada pasar AS," kata Anne kepada Kontan.co.id, Selasa (28/10/2025).
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur turut menyoroti tantangan bagi produsen dan eksportir Indonesia jika negara pesaing mendapatkan tarif yang lebih rendah, bahkan berpotensi nol persen.
Ilustrasi tarif impor Trump. Produk Indonesia yang masuk ke AS akan menghadapi “handicap tariff” tambahan yang menggerus daya saing harga.
"Ini bisa membuat buyer AS memilih sourcing dari negara yang tarifnya lebih rendah, atau menuntut margin lebih kecil dari eksportir Indonesia agar mereka tetap kompetitif, sehingga menekan keuntungan eksportir Indonesia," ungkap Sobur.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran terjadinya pergeseran pangsa pasar dari Indonesia ke negara Asia Tenggara lain yang lebih “tariff friendly” ke AS. Terutama untuk produk mebel atau kerajinan yang sensitif tarif dan biaya logistik.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Soetanto Abdoellah menyoroti Malaysia sebagai pesaing Indonesia untuk produk kakao yang masuk ke pasar AS, terutama produk berupa cocoa butter dan powder.
Jika untuk produk tersebut Malaysia mendapat pembebasan bea masuk atau tarif nol persen ke AS, maka daya saing sebagian produk Indonesia akan menurun.
Meski, Soetanto menyampaikan, sejauh ini belum ada kekhawatiran yang signifikan. Sebab, mayoritas eksportir produk kakao ke pasar AS adalah perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia.
Baca juga: Harga Kopi di AS Naik 21 Persen Imbas Tarif Trump, Konsumen Diprediksi Ubah Pola Konsumsi
"Mereka mengolah biji kakao di Indonesia menjadi butter dan powder, kemudian mengirim hasil olahannya ke jaringan mereka di seluruh dunia, termasuk AS," ungkap Soetanto.
AS menjadi salah satu tujuan utama ekspor kakao Indonesia. Negeri Paman Sam merupakan pasar terbesar kedua dengan porsi 15,72 persen dari total ekspor kakao Indonesia.
Ekspor menjadi tumpuan industri kakao Indonesia lantaran pasar domestik hanya menyerap sekitar 25 sampai 30 persen.
Ilustrasi ekspor.Soetanto mendorong adanya diversifikasi pasar sebagai alternatif ekspor, seperti ke negara-negara Asia dan Eropa. Dorongan dari pemerintah diperlukan, antara lain melalui perjanjian dagang.
Baca juga: Pemilih Independen Mulai Tinggalkan Trump, Ekonomi Jadi Penentu
Selain itu, Soetanto mendorong upaya pemerintah untuk melakukan lobi demi mendapatkan perlakuan yang sama jika nanti AS memberikan bea masuk nol persen untuk negara tetangga.
Hal senada disampaikan HIMKI. Sobur mengungkapkan pelaku industri berharap agar Indonesia bisa memperoleh perjanjian bilateral atau kesepakatan perdagangan dengan AS yang memberikan akses lebih baik.
Misalnya sebagai bagian dari kesepakatan “reciprocal trade” atau kebijakan supply chain AS yang mencari diversifikasi dari China.
HIMKI juga berharap agar pemerintah mendukung dengan insentif ekspor, pembinaan kualitas, standardisasi, branding “Indonesia” sebagai kerajinan mebel premium. Hal ini penting agar daya saing produk Indonesia semakin diukur berdasrkan value, bukan hanya harga.
Baca juga: Survei: Ketidakpuasan Warga AS terhadap Ekonomi Bayangi Trump
"Indonesia berisiko kehilangan kompetitif relatif jika negara lain memperoleh tarif lebih rendah sementara kita tidak. Namun, hal ini tidak otomatis menghilangkan peluang ekspor ke AS, selama Indonesia bisa memanfaatkan keunggulan kompetitif lain dan memperkuat posisi di segmen yang tidak hanya bersaing melalui harga tarif semata," terang Sobur.
Sementara itu, Anne mengingatkan bahwa dunia usaha juga menghadapi tantangan terkait efisiensi di dalam negeri.
Pekerjaan rumah terbesar ada pada upaya menurunkan high-cost economy yang masih membebani rantai pasok, mengurangi over-regulation yang memperlambat proses bisnis, serta memperkuat kepastian hukum dan prediktabilitas kebijakan.
Anne pun menegaskan keterlibatan pelaku usaha dalam proses perundingan dan perumusan kebijakan dagang menjadi sangat penting.
Baca juga: Survei: Ketidakpuasan Warga AS terhadap Ekonomi Bayangi Trump
"Transparansi dan koordinasi lintas sektor harus dijaga agar kebijakan perdagangan internasional benar-benar merefleksikan mutual respect, sovereign equality, dan kepentingan nasional jangka panjang," tandas Anne. (Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat)
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: Trump Beri Tarif 0% untuk Malaysia - Vietnam, Ekspor Indonesia Bisa Tertekan?
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang