
Keberhasilan birokrasi tidak boleh lagi diukur dari banyaknya pelatihan yang dilaksanakan, tetapi dari berapa banyak orang yang benar-benar bekerja dan hidup layak setelahnya.
Bayangkan jika setiap anak muda diberi ruang untuk mencipta, bukan menunggu. Indonesia tak kekurangan semangat—kita hanya kekurangan sistem yang mempercayai potensi rakyatnya.
Namun, perubahan mindset saja tidak cukup tanpa perubahan kelembagaan. Indonesia belum memiliki lembaga negara yang secara eksplisit bertugas menciptakan dan memperluas lapangan kerja.
Kementerian Ketenagakerjaan lebih berfungsi sebagai regulator dan pelindung pekerja, bukan sebagai pencipta kerja.
Sementara kementerian lain yang terkait ekonomi—seperti Perindustrian, Investasi, atau UMKM—hanya menyentuh sebagian kecil dari persoalan tenaga kerja. Akibatnya, kebijakan ketenagakerjaan kita terpecah ke dalam banyak sektor tanpa koordinasi yang kuat.
Padahal, di banyak negara yang berhasil mengatasi pengangguran, pemerintah memiliki lembaga khusus yang bertugas memastikan tersedianya pekerjaan.
Korea Selatan memiliki Ministry of Employment and Labor yang menjadi otoritas tunggal untuk mengintegrasikan kebijakan tenaga kerja, industri, dan pendidikan.
Singapura memiliki Workforce Singapore (WSG), lembaga semi-otonom yang memastikan transisi dari pendidikan ke pekerjaan berjalan mulus.
Indonesia membutuhkan lembaga serupa—institusi di bawah presiden yang menjadi penggerak utama penciptaan lapangan kerja nasional.
Lembaga ini harus memiliki mandat lintas sektor: mengintegrasikan data ketenagakerjaan, memetakan kebutuhan tenaga kerja di tiap wilayah, dan memastikan setiap kebijakan ekonomi berorientasi pada penciptaan pekerjaan.
Lembaga ini juga harus menjadi penghubung nyata antara dunia pendidikan, industri, dan investasi; memastikan setiap proyek pembangunan berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja lokal.
Baca juga: Membaca Emosi Sandra Dewi dalam Kasus Harvey Moeis
Dengan cara ini, pembangunan ekonomi tidak lagi hanya soal pertumbuhan angka, tetapi soal berapa banyak rakyat yang memperoleh penghidupan layak karenanya.
Revolusi ketenagakerjaan berarti berani membangun sistem baru—sistem yang memandang tenaga kerja sebagai aset nasional, bukan beban; sistem yang memiliki rumah kelembagaan yang jelas untuk menciptakan lapangan kerja, bukan membiarkannya tercecer di berbagai kementerian.
Revolusi ini bukan retorika, melainkan kebutuhan mendesak jika bangsa ini ingin keluar dari kutukan pengangguran struktural dan bonus demografi yang terbuang sia-sia.
Sudah saatnya Indonesia berhenti menambal sistem lama dan mulai membangun sistem baru yang berpihak pada manusia produktif.
Karena hanya bangsa yang memberi tempat bagi rakyatnya untuk bekerja yang benar-benar memiliki masa depan.
Revolusi ketenagakerjaan bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi soal martabat bangsa: apakah kita membiarkan rakyatnya menunggu, atau memberinya pekerjaan untuk berdiri sendiri.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang