
Angka itu bukan sekadar statistik. Ia menggambarkan generasi yang kehilangan arah, terputus dari sistem ekonomi, dan tidak memiliki jaminan masa depan yang jelas.
Dalam konteks sosial, kondisi ini adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja, mengancam stabilitas pembangunan nasional.
Jika persoalan ini terus dibiarkan, kita akan melahirkan generasi yang terampil dalam teori, tapi asing terhadap praktik; penuh semangat, namun kehilangan ruang untuk berkontribusi.
Untuk keluar dari lingkaran itu, bangsa lain pernah mengambil jalan berbeda. Korea Selatan, misalnya, pada 1950-an adalah salah satu negara termiskin di dunia—bahkan lebih miskin dari banyak negara Afrika.
Infrastruktur hancur akibat perang, pendapatan per kapita rendah, dan lapangan kerja nyaris tidak ada.
Baca juga: Menyoal Anggaran Rp 8 Triliun untuk Cetak Tenaga Kerja Baru
Namun, tujuh dekade kemudian, negeri itu menjelma menjadi kekuatan industri dunia. Kebangkitan mereka tidak lahir dari keberuntungan, tetapi dari revolusi cara berpikir.
Pada dekade 1960-an, Presiden Park Chung-hee memimpin perubahan besar yang berangkat dari kemarahan terhadap kemiskinan yang dibiarkan.
Ia menolak sistem yang pasif dan mentalitas bergantung pada belas kasihan negara lain. Park memahami satu hal penting: tidak ada perubahan ekonomi tanpa perubahan cara pandang terhadap manusia.
Ia menempatkan tenaga kerja sebagai pusat pembangunan, bukan sekadar pelengkap kebijakan ekonomi. Pendidikan vokasi diperkuat, industri domestik dipacu, dan sistem ketenagakerjaan diarahkan untuk menumbuhkan produktivitas nasional.
Dalam waktu kurang dari tiga dekade, Korea Selatan bertransformasi menjadi kekuatan industri global—bukan karena tambang, bukan karena minyak, melainkan karena kedisiplinan, keterampilan, dan etos kerja rakyatnya. Mereka tidak menunggu peluang datang, tetapi menciptakannya.
Kisah itu seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah, jumlah penduduk produktif yang besar, dan tingginya potensi ekonomi.
Namun semua itu belum mampu mendorong perubahan signifikan karena kita masih terjebak dalam paradigma lama.
Tenaga kerja di Indonesia masih sering dipandang sebagai beban sosial, bukan sebagai kekuatan ekonomi.
Dalam kebijakan publik, tenaga kerja kerap muncul hanya sebagai “objek pelatihan”, “sasaran program”, atau “angka statistik”—bukan sebagai pelaku utama pembangunan.
Revolusi ketenagakerjaan harus dimulai dari revolusi cara berpikir. Negara harus memandang tenaga kerja bukan sebagai masalah, melainkan sebagai modal ekonomi utama bangsa.
Di negara-negara maju, manusia bukan beban anggaran, melainkan sumber kekayaan yang tak tergantikan. Jepang, Korea Selatan, hingga Singapura membuktikan bahwa produktivitas manusia jauh lebih berharga daripada cadangan alam.
Pemerintah tidak cukup hanya “menciptakan pekerjaan” secara birokratis, melainkan harus membangun sistem yang memungkinkan rakyat mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri.
Pendidikan harus diarahkan untuk menumbuhkan keterampilan, bukan sekadar melahirkan gelar.
Baca juga: Republik Dagang Pengetahuan
Dunia industri dan lembaga pendidikan perlu dihubungkan secara nyata agar setiap lulusan memiliki jalur masuk ke pasar kerja.