BANYUWANGI, KOMPAS.com - Ungkapan guru menanam budi, murid menyiram dengan kasih sayang adalah kalimat yang cocok disematkan untuk kisah Furdan Kinder, seorang guru asal Distrik Tomu, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat bersama murid-muridnya.
Kasih sayang para siswa tergambar dari kerelaan mereka menunggu serta berlarian menyusuri pinggiran sungai hingga masuk wilayah hutan kala melepas gurunya yang hendak menempuh ribuan kilometer untuk membawa nama Indonesia ke kancah dunia.
Furdan sangat disayangi murid-muridnya. Sebab, kegigihannya membuat anak-anak Distrik Tomu perlahan bagai menemukan pelita dalam gulita lewat huruf dan kata di buku yang kini telah bisa mereka baca.
Furdan Kinder adalah seorang guru kelas 6 SD Inpres Tomu, pemuda asli Distrik Tomu kelahiran 7 Mei 2002 yang mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak-anak di Distrik Tomu yang memiliki tingkat literasi cukup rendah.
Furdan bersekolah SD-SMA di Distrik Tomu, dan keluar dari daerah asal untuk berkuliah di Universitas Muhammadiyah Sorong.
Semasa kuliah, saat ia pulang, ia mendapati fakta yang membuatnya prihatin. Fakta yang membuatnya ingin membuatnya menolong para generasi penerus agar tak kian terjerumus.
"Saya perhatikan siswa-siswi SD-SMA kalau sudah pegang bensin mereka hirup-hirup, dan di sini angka literasi minim sekali," kata Furdan, Jumat (5/9/2025).
Furdan tak diam saja, ia mulai menyiapkan langkah. Di tengah aktivitas perkuliahan, Furdan menimba kesempatan dengan mengikuti kegiatan kampus merdeka yang ditempatkan di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
Ia mengajar dan ditempatkan di SMP Negeri 5 Kota Sorong selama 6 bulan untuk mendalami literasi, numerasi dan adaptasi teknologi yang juga menjadi bekalnya seusai lulus sarjana dan kembali ke kampung halamannya.
Furdan yang mengetahui adanya kekurangan tenaga guru kemudian segera mengirimkan surat lamaran, dan dengan pengalaman yang dimiliki, ia diterima sebagai guru kontrak BPMIGAS melalui yayasan Muhammadiyah.
"Saya pertama kali mengajar langsung diberi tanggung jawab menjadi wali kelas 5," ucap Furdan mengenang.
Sebagai guru, ia pun bersemangat mengajar. Dia menyapa anak-anak di kelas, hingga akhirnya kala memberikan materi Bahasa Indonesia dengan tulisan tangan di papan tulis, ia terkejut.
Furdan mendapati, dari total 25 siswa yang ada di kelasnya, 75 persen di antaranya tidak bisa membaca.
Hanya 7 siswa yang bisa membaca, sementara lainnya masih tahap eja, baru bisa sambung suku kata, hingga belum mengenal huruf sama sekali.
Kesedihan merayapi hatinya. Ia pun mendorong dirinya sendiri untuk membuka kelas tambahan bagi anak-anak didiknya itu.
Baca juga: Kisah Wini Pustakawan Ciamis: Hidup Bersama Buku, Perjuangan demi Literasi...