GAZA, KOMPAS.com – Militer Israel meratakan sebuah gedung pencakar langit di Kota Gaza pada Sabtu (6/9/2025), hanya beberapa hari setelah penghancuran gedung tinggi lain di wilayah tersebut.
Serangan ini dilakukan di tengah peringatan Israel kepada warga untuk segera mengungsi ke selatan menuju zona kemanusiaan, sebelum operasi besar yang disebut bertujuan merebut pusat kota.
Israel telah meningkatkan intensitas serangan udara dan operasi darat di pinggiran kota. Rencana serangan darat skala besar ini dikecam banyak pihak karena dikhawatirkan memperparah kondisi kemanusiaan yang sudah kritis.
Baca juga: Serangan Israel Tewaskan 105 Orang di Gaza, Puluhan Anak dan Jurnalis Jadi Korban
Militer Israel menyatakan gedung yang diserang digunakan Hamas untuk memasang peralatan intelijen dan pos pengamatan terhadap pergerakan pasukan Israel.
“Langkah-langkah telah diambil untuk meminimalkan kerugian bagi warga sipil,” kata pihak militer, dikutip dari AFP.
Saksi mata mengidentifikasi bangunan atau gedung pencakar langit itu ialah Menara Sussi, sebuah hunian setinggi 15 lantai. Rekaman video yang dibagikan Menteri Pertahanan Israel Israel Katz menunjukkan gedung runtuh dalam kepulan debu dan asap.
“Kami terus berjuang,” ujar Katz melalui unggahan di media sosial, sehari setelah ia menayangkan video penghancuran gedung pencakar langit lainnya.
Militer menegaskan akan terus menargetkan bangunan tinggi yang diyakini digunakan Hamas. Pada Sabtu, perintah evakuasi kembali dikeluarkan untuk sejumlah menara di Kota Gaza.
Baca juga: Serangan Israel Tewaskan 105 Orang di Gaza, Puluhan Anak dan Jurnalis Jadi Korban
Juru bicara militer, Avichay Adraee, mendesak warga meninggalkan kota dan menuju Al-Mawasi di selatan Gaza, yang disebut sebagai zona kemanusiaan.
“Manfaatkan kesempatan ini untuk bergerak lebih awal ke zona kemanusiaan (Al-Mawasi) dan bergabunglah dengan ribuan orang yang telah pergi ke sana,” kata Adraee.
Namun, warga menilai zona tersebut tidak menjamin keselamatan. Abdel Nasser Mushtaha (48), warga lingkungan Zeitun, kini tinggal di tenda pengungsian di daerah Rimal.
“Ada yang bilang kami harus mengungsi, yang lain bilang kami harus tetap tinggal. Tapi di mana-mana di Gaza terjadi pengeboman dan kematian,” ujarnya.
Putrinya, Samia Mushtaha (20), menambahkan, “Selama satu setengah tahun terakhir, pengeboman terburuk yang menyebabkan pembantaian warga sipil terjadi di Al-Mawasi. Itu tidak lagi berarti bagi kami. Ke mana pun kami pergi, kematian mengejar kami, entah karena pengeboman atau kelaparan”.
Baca juga: Hamas Akhirnya Konfirmasi Kematian Pemimpin Gaza, Mohammed Sinwar
Di sisi lain, tekanan internasional terhadap Israel semakin besar. Hamas bulan lalu menyetujui proposal gencatan senjata sementara dan pembebasan sandera bertahap, tetapi Israel menuntut pelepasan seluruh sandera, perlucutan senjata, serta pengakhiran kendali Hamas atas Gaza.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan pihaknya tengah melakukan negosiasi intensif dengan Hamas terkait para sandera.