Setelah sagu, bahan baku termurah berikutnya adalah singkong, sementara jagung tergolong paling mahal.
“Kalau dari nilai bahan bakunya, ya itu memang sagu itu yang paling murah untuk bahan baku menjadi etanol. Untuk saat ini sagu memang. Kedua itu cassava, kalau yang corn yang jagung itu memang sudah agak mahal,” ujar Putu saat ditemui di gedung Kemenperin, Rabu (31/2025).
Pemerintah masih membuka berbagai opsi bahan baku untuk etanol. Beragam alternatif akan dikaji untuk menentukan bahan mana yang paling efektif dan efisien.
“Ya sehingga nanti opsinya itu dibuka, mana yang paling bagus, nah itu yang didorong,” ucapnya.
Potensi bahan baku etanol juga datang dari sektor gula dan kelapa sawit. Putu menuturkan, program swasembada gula akan meningkatkan produksi molases yang dapat diolah menjadi biofuel, termasuk bioetanol.
Selain itu, pemerintah tengah mengembangkan pemanfaatan biomassa dari tandan kosong kelapa sawit. Melalui proses fraksinasi atau pemisahan komponen, tandan kosong tersebut dapat diolah menjadi berbagai produk turunan seperti bioetanol dan hemiselulosa.
“Biomassa dari tandan kosong kelapa sawit itu sedang kita fraksionasi, dipilah-pilah, dan hasilnya bisa jadi bioetanol, bisa hemiselulosa. Jadi banyak bahan-bahan yang bisa dihasilkan,” lanjut Putu.
Ia menegaskan, pengembangan industri etanol sejalan dengan kebijakan hilirisasi dan upaya pemerintah mendorong energi terbarukan. Namun, ketersediaan bahan baku di hulu menjadi faktor penentu keberhasilan program tersebut.
Baca juga: Kebijakan Biodiesel B50 Perlu Hitung Matang agar Sawit Indonesia Tetap Kompetitif
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang