
MINGGU ini, Bank Dunia baru saja merilis publikasi terbaru mengenai proyeksi pertumbuhan di kawasan Asia Pasifik. Secara umum, Bank Dunia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ini masih akan berada di atas rata-rata pertumbuhan global.
Namun, laju pertumbuhan tersebut diperkirakan melambat pada 2025 dan semakin menurun pada 2026. Sejumlah indikator menunjukkan tanda-tanda pelemahan momentum ekonomi.
Sebagai contoh, penjualan ritel memang mencatat peningkatan, tetapi tingkat keyakinan konsumen belum sepenuhnya pulih sejak pandemi COVID-19.
Sementara itu, produksi industri masih relatif kuat, namun kepercayaan dunia usaha tetap lemah.
China, sebagai ekonomi terbesar di kawasan, diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 4,8 persen pada tahun ini, sebelum melambat menjadi 4,2 persen pada 2026.
Di sisi lain, negara-negara berkembang Asia lainnya diproyeksikan tumbuh sekitar 4,4 persen pada 2025 dan sedikit meningkat menjadi 4,5 persen pada 2026.
Adapun kawasan Pasifik diperkirakan mencatat pertumbuhan sebesar 2,7 persen pada 2025 dan 2,8 persen pada 2026.
Bagaimana dengan Indonesia? Bank Dunia memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh sebesar 4,8 persen pada tahun 2025 dan 2026.
Baca juga: Tambang untuk Rakyat, Rakyat yang Mana?
Proyeksi ini tidak banyak berubah dibandingkan berbagai perkiraan sebelumnya, yang juga menempatkan pertumbuhan Indonesia di bawah 5 persen.
Meski masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan, publik di Indonesia umumnya baru dapat melihat data resmi sekitar satu bulan setelah berakhirnya kuartal.
Sebagai contoh, untuk kinerja ekonomi kuartal III, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan pada 5 November 2025.
Beberapa faktor turut memengaruhi penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan. Pertama, meningkatnya restriksi perdagangan antarnegara sebagai dampak dari kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump.
Di antara seluruh negara di Asia Pasifik, China menjadi yang paling terdampak, dengan kenaikan tarif perdagangan yang signifikan dibandingkan tahun 2024.
Kedua, meningkatnya ketidakpastian kebijakan di tingkat global. Presiden Trump dikenal dengan gaya kebijakan yang sulit diprediksi, sehingga memicu fluktuasi dalam sentimen pasar.
Berdasarkan konsep economic policy uncertainty yang dikembangkan oleh Dario Caldara dan rekan-rekannya (2020), tingkat ketidakpastian global meningkat tajam, baik terkait kebijakan ekonomi maupun kebijakan perdagangan internasional.