JAKARTA, KOMPAS.com - Kalangan petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade) meminta Presiden Prabowo Subianto segera menata ulang kebijakan tata kelola sawit dan kehutanan yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
Harapan ini disampaikan Wakil Ketua Umum Samade, Abdul Aziz, menanggapi kebijakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang menyita sekaligus mendenda banyak kebun sawit karena dianggap berada di dalam kawasan hutan.
Menurut Aziz, banyak kebun yang disita justru telah mengantongi sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) maupun sertifikat tanah resmi yang dikeluarkan negara. Kondisi ini mencerminkan ketidakjelasan tata batas kawasan hutan yang menjadi dasar hukum tindakan Satgas PKH.
“Harapan kami sederhana. Karena masalah ini bukan terjadi di era Pak Prabowo, inilah kesempatan emas bagi beliau untuk menertibkan tata kelola sawit agar sesuai aturan hukum. Kalau Kementerian Kehutanan tertib, hukum bisa ditegakkan, rakyat tenang, dan negara diuntungkan,” ujar Abdul Aziz dalam siaran persnya, Rabu (29/10/2025).
Baca juga: PTPN III Bidik Investasi Rp 60 Triliun, Bangun Pabrik Biodiesel dan Perluas Lahan Sawit
Aziz menjelaskan, setelah Perpres No. 5/2025 diterbitkan, pemerintah membentuk Satgas PKH yang mulai melakukan penyitaan terhadap lahan-lahan perkebunan sawit.
Awalnya yang disasar adalah perusahaan besar, namun kini merembet hingga lahan masyarakat seluas 10 hektar ke atas. Satgas PKH telah menyita 3,4 juta hektar lahan sawit yang dinilai masuk kawasan hutan.
“Begitu plang bertuliskan ‘lahan dalam penguasaan negara’ dipasang, petani langsung dipanggil Satgas, diperiksa, bahkan disodorkan surat penyerahan lahan. Suratnya undangan klarifikasi, tapi gayanya seperti pemeriksaan,” jelasnya.
Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga berdampak serius terhadap produktivitas dan ekonomi petani. Banyak petani menghentikan perawatan dan pemupukan kebun karena takut usahanya disita.
“Di Riau misalnya, keresahan sudah tinggi. Petani berhenti merawat kebun, dan banyak yang kesulitan membayar cicilan ke bank. Dampaknya luar biasa, bukan hanya di Riau tetapi juga di Jambi, Sumut, dan Kalteng,” kata Aziz.
Selain Perpres 5/2025, Aziz juga menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 yang disebutnya lebih mengerikan karena mengatur sanksi denda dan penyitaan sekaligus.
“Substansi PP 45 ini tetap sama: berbasis pada klaim kawasan hutan yang belum jelas status hukumnya. Kalau kawasan hutannya tidak dikukuhkan, dasar hukum PP itu lemah. Jadi, kami tidak terlalu tertarik membahas PP 45 karena dasarnya saja sudah tidak jelas,” tegasnya.
Ia mengaku sudah menyalurkan aspirasi petani sawit melalui berbagai jalur konstitusional.
“Kami sudah sampaikan ke DPR RI, dua kali RDP, ke Komnas HAM, Ombudsman, dan Komisi XIII. Kami juga sudah kirim surat ke Presiden, tapi entah kenapa belum terlihat tindak lanjutnya. Jangan-jangan Presiden terkurung dalam labirin birokrasi,” katanya.
Menurutnya, masalah utama terletak pada ketidakjelasan data dan klaim kawasan hutan yang dibuat Kementerian Kehutanan.
Ia menilai, jika Presiden Prabowo berani menertibkan sektor ini, akan menjadi tonggak sejarah bagi pemerintahan baru.