JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan pemangkasan transfer ke daerah (TKD) dalam APBN 2026. Pemangkasan TKD 2026 dilakukan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa karena masih banyak pemda yang tidak efisien dalam mengelola anggaran.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, pengurangan dana yang signifikan dikhawatirkan akan menekan kemampuan fiskal daerah, memicu keterlambatan pembangunan daerah, hingga keterlambatan pembayaran gaji aparatur sipil negara (ASN).
Pasalnya, sebagian besar pemerintah daerah (pemda) bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk membayar gaji ASN, layanan dasar pendidikan dan kesehatan, hingga infrastuktur dasar.
"Ketika TKD menurun, banyak daerah miskin fiskal kini menghadapi risiko gagal bayar gaji ASN atau harus menunda proyek pembangunan publik," ujarnya dalam keterangannya, Rabu (15/10/2025).
Baca juga: Pembangunan Tak Akan Mandek, DPR Pastikan Pemangkasan TKD Tak Rugikan Daerah
Kebijakan ini juga dapat mendorong pemda menaikkan pajak dan retribusi daerah.
Kenaikan pajak seperti pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) dan pajak kendaraan bermotor bisa menjadi jalan pintas yang kontraproduktif karena menambah beban masyarakat dan pelaku usaha lokal.
"Artinya, pemangkasan TKD bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal keadilan sosial dan daya beli rakyat," kata Achmad.
Hal ini seperti yang sudah sempat terjadi di sejumlah daerah beberapa bulan lalu seperti yang terjadi di Pati, Jawa Tengah yang menimbulkan gelombang aksi demonstrasi di daerah lainnya.
Dalam APBN 2026, pemerintah mengalokasikan anggaran TKD sebesar 693 triliun, turun lebih dari Rp 200 triliun dari anggaran TKD di APBN 2025 yang mencapai Rp 919 triliun.
Baca juga: Misbakhun Sentil Kepala Daerah yang Protes Menkeu Purbaya soal Pemotongan TKD
Sebelumnya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut, pemangkasan TKD 2026 dilakukan karena masih banyak pemda yang tidak efisien dalam mengelola anggaran.
Menurut Achmad, alasan tersebut sekilas terlihat masuk akal namun jika ditelaah justru tidak sepenuhnya tepat.
Sebab dalam sistem fiskal nasional, dana daerah bukan uang saku yang diberikan atas belas kasih pusat, melainkan bagian dari hak konstitusional daerah berdasarkan formula yang diatur UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD).
"Ketika pusat menilai kinerja daerah buruk lalu memangkas hak fiskalnya secara sepihak, negara justru sedang menghukum mekanisme desentralisasi yang dibangunnya sendiri," ucapnya.
Yang lebih ironis lagi, kata Achmad, program pengganti dari pusat ke daerah diklaim bakal mencapai Rp 1.300 triliun pada 2026.
Baca juga: Misbakhun: Pemangkasan TKD di APBN 2026 Bukan Desain Purbaya