SRAGEN, KOMPAS.com – Lesunya daya beli masyarakat dalam beberapa tahun terakhir turut dirasakan oleh pengusaha batik tulis asal Sragen, Jawa Tengah, Wiwin Muji Lestari.
Di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan, pemilik butik Batik Nuri Lestari yang berlokasi di Kecamatan Masaran itu terus berinovasi dengan menciptakan berbagai motif batik baru agar usahanya tetap bertahan.
Setiap pekan, Wiwin selalu menghadirkan motif batik baru supaya konsumen tidak bosan.
“Tantangan sekarang kami harus selalu menciptakan motif batik baru sehingga pembeli tidak bosan. Strategi penjualannya tergantung pengusaha batiknya, bisa tidak menarik pembeli. Kalau kami setiap pembeli datang pasti ada motif baru yang disajikan. Kalau motifnya monoton ya pembeli jadi limbung,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (30/10/2025),
Wiwin mengakui pasar batik saat ini sangat lesu, bahkan lebih lesu dibanding masa pandemi Covid-19.
Meski demikian, Wiwin melihat adanya tren positif dari kalangan muda yang kini mulai mengenakan batik dalam berbagai kegiatan, termasuk sebagai seragam instansi.
Ia menilai pasar tersebut akan menjaga eksistensi batik ke depan.
Semangat Wiwin untuk terus berinovasi lahir dari kecintaannya terhadap batik. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia sudah bergelut dengan dunia batik.
Usai pulang sekolah, Wiwin bekerja sebagai buruh batik. Tahun demi tahun ia jalani profesi itu hingga akhirnya muncul keinginan untuk memiliki usaha batik sendiri.
Kini, setelah 25 tahun berkecimpung di dunia batik, ribuan motif hasil modifikasi maupun ciptaan baru lahir dari tangannya.
Baca juga: Menenun Aksara di Kain: Semangat Veby Wibisana Hidupkan Batik Sunda
Karya-karyanya dibanderol dengan harga mulai Rp 350.000 hingga lebih dari Rp 20 juta.
“Harga batik tulis itu ada yang hanya Rp 350.000 tetapi juga ada yang sampai di atas Rp 20 juta,” jelasnya.
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Lutfhi saat melihat hasil produksi batik di butik Batik Nuri Lestari, Kamis (30/10/2025)Produk Batik Nuri Lestari bahkan telah menembus pasar internasional, seperti Belanda, Malaysia, dan Singapura.
Namun, Wiwin mengaku tidak pernah menjual produknya secara online.
“Selama ini untuk pemasaran, saya masih menggunakan model offline. Saya mengakui bila masih gagap teknologi sehingga belum melakukan pendekatan pasar secara online,” ujar Wiwin.
Baca juga: Pesona Motif Wader Kesit di Banyuwangi Batik Festival 2025
Untuk mendukung produksinya, Wiwin memiliki 10 pekerja tetap di butiknya. Selain itu, ia juga bermitra dengan ratusan pembatik perempuan dengan sistem borongan.
“Perempuan bekerja itu tidak harus di batik tetapi disesuaikan dengan keahlian masing-masing. Saya selain membatik juga memiliki ternak ayam kampung. Pokoknya yang bisa menghasilkan uang dan halal, saya lakukan,” katanya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang