Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nurun Najib
Dosen

Dosen Sosiologi pada Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)

Paylater dan Cermin Kerentanan

Kompas.com - 04/10/2025, 07:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam kerangka ini, paylater lebih dari sekadar teknologi pembayaran, ia adalah simbol pergeseran nilai di mana konsumsi instan dipandang wajar, bahkan ideal.

Baca juga: Penyerahan Benda Bersejarah oleh Belanda dan Beban Negara

Lebih jauh lagi, praktik konsumsi melalui paylater tidak terlepas dari dorongan sistemik yang diciptakan oleh algoritma dan strategi pemasaran digital.

Perusahaan platform memanfaatkan big data untuk memahami pola perilaku konsumen, lalu menawarkannya produk-produk yang dipersonalisasi melalui iklan, flash sale, atau program promosi eksklusif.

Mekanisme ini menciptakan dorongan psikologis untuk berbelanja secara impulsif, karena konsumen selalu dihadapkan pada narasi “kesempatan terbatas” atau “diskon hanya hari ini”.

Dalam konteks sosiologi konsumsi, ini adalah bentuk manufactured desire—keinginan yang direkayasa oleh sistem pasar.

Paylater hadir sebagai jembatan yang menghapus rasa bersalah atas belanja di luar kemampuan, karena pembayaran bisa ditunda.

Dengan demikian, masyarakat tidak hanya terperangkap dalam siklus konsumsi, tetapi juga dalam logika pasar yang merancang keinginan mereka secara sistematis.

Konsekuensi sosial dari pola ini cukup mendalam. Pertama, ia mendorong terbentuknya masyarakat yang hidup dalam siklus konsumsi–utang–konsumsi ulang, di mana utang menjadi normalisasi baru.

Kedua, ia memperkuat logika kapitalisme digital, karena setiap transaksi melalui paylater memperkaya basis data korporasi dan memperluas jejaring pengendalian terhadap perilaku konsumen.

Ketiga, ia menimbulkan diferensiasi sosial baru: mereka yang dapat mengakses paylater dengan limit tinggi dianggap lebih modern, lebih “kredibel” secara finansial, sementara kelompok yang gagal menjaga skor kredit akan terjebak dalam stigma digital.

Dengan kata lain, paylater beroperasi tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai mekanisme simbolik yang mengatur identitas dan stratifikasi sosial di era digital.

Frustrasi ekonomi dan survival strategy

Di balik narasi mengenai budaya konsumtif, pertumbuhan utang paylater juga harus dibaca sebagai refleksi dari kerentanan ekonomi struktural.

Bagi banyak masyarakat, terutama di lapisan kelas menengah bawah, fasilitas paylater bukan sekadar pintu menuju gaya hidup urban, melainkan sarana untuk menutup kebutuhan dasar sehari-hari.

Laporan OJK menunjukkan bahwa pertumbuhan utang ini bukan hanya di sektor perbankan, tetapi juga sangat tinggi di perusahaan pembiayaan nonbank dan pinjaman daring.

Fakta ini mengindikasikan bahwa paylater telah merambah segmen masyarakat dengan daya beli rendah yang kerap terpinggirkan dari akses kredit formal.

Dalam konteks ini, utang digital muncul sebagai solusi pragmatis atas ketidakmampuan struktur ekonomi nasional menyediakan jaring pengaman yang memadai.

Konsep everyday coping strategy dalam sosiologi ekonomi dapat membantu membaca fenomena ini.

Baca juga: Purbayanomic: Ekonomi Tumbuh 6 Persen dengan Suntikan Rp 200 Triliun?

Masyarakat yang menghadapi stagnasi pendapatan, naiknya harga kebutuhan pokok, serta keterbatasan akses kredit konvensional terpaksa mencari jalan pintas melalui short cut economy berbasis utang digital.

Fasilitas paylater menawarkan kemudahan tanpa syarat rumit, berbeda dengan pinjaman bank yang memerlukan jaminan dan prosedur panjang.

Hal ini membuat paylater semakin populer, karena ia memberikan ilusi kontrol finansial meski kenyataannya justru menambah beban jangka panjang.

Strategi bertahan hidup ini menyingkap ketidaksetaraan struktural, di mana kelompok rentan menanggung risiko lebih besar akibat lemahnya daya tawar mereka di dalam sistem ekonomi digital.

Dari perspektif Amartya Sen dengan capability approach, fenomena ini menunjukkan bahwa keterbatasan akses keuangan formal menggerus kemampuan dasar masyarakat untuk menjalani hidup yang bermartabat.

Alih-alih memperluas capability masyarakat, sistem paylater justru berpotensi mempersempitnya, karena individu terjebak pada lingkaran utang yang mengurangi ruang kebebasan ekonomi mereka.

Masyarakat tampak seolah memiliki pilihan—apakah akan membeli barang/jasa dengan cicilan atau tidak—tetapi pilihan tersebut berlangsung dalam situasi yang timpang, di mana kebutuhan mendesak mendorong mereka masuk ke dalam jeratan finansial.

Halaman:


Terkini Lainnya
IHSG Ditutup Melonjak 1,36 Persen pada 8.275, Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Sejarah Lagi
IHSG Ditutup Melonjak 1,36 Persen pada 8.275, Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Sejarah Lagi
Cuan
Perkuat Keamanan Logistik Nasional, IPC TPK Operasikan Alat Pemindai Peti Kemas di Tanjung Priok
Perkuat Keamanan Logistik Nasional, IPC TPK Operasikan Alat Pemindai Peti Kemas di Tanjung Priok
Industri
Inflasi Telur dan Daging Ayam Ras Melonjak, BPS Sebut Karena Permintaan Tinggi untuk Program MBG
Inflasi Telur dan Daging Ayam Ras Melonjak, BPS Sebut Karena Permintaan Tinggi untuk Program MBG
Ekbis
Target Swasembada Beras: Produksi Melonjak dan Tantangan Struktural
Target Swasembada Beras: Produksi Melonjak dan Tantangan Struktural
Ekbis
Menkeu Purbaya Siapkan Tarif Cukai Khusus untuk Tarik Produsen Rokok Ilegal ke Kawasan KIHT
Menkeu Purbaya Siapkan Tarif Cukai Khusus untuk Tarik Produsen Rokok Ilegal ke Kawasan KIHT
Ekbis
Jaga Daya Saing, AISA Luncurkan Kemasan Baru Salah Satu Produk Makanan Ringannya
Jaga Daya Saing, AISA Luncurkan Kemasan Baru Salah Satu Produk Makanan Ringannya
Cuan
Bank Mandiri Siap Salurkan Rp 3,22 Triliun BLTS Kesra 2025 lewat Jaringan Cabang hingga Mandiri Agen
Bank Mandiri Siap Salurkan Rp 3,22 Triliun BLTS Kesra 2025 lewat Jaringan Cabang hingga Mandiri Agen
Keuangan
Pemda Bisa Pinjam ke Pemerintah Pusat, Purbaya: Bunga 0,5 Persen
Pemda Bisa Pinjam ke Pemerintah Pusat, Purbaya: Bunga 0,5 Persen
Ekbis
Danantara: TOBA Sudah Declaire Tak Ikut Proyek Sampah Jadi Listrik
Danantara: TOBA Sudah Declaire Tak Ikut Proyek Sampah Jadi Listrik
Cuan
BEI Bakal Kirim Surat Keberatan ke MSCI soal Metode Penghitungan Free Float Saham
BEI Bakal Kirim Surat Keberatan ke MSCI soal Metode Penghitungan Free Float Saham
Cuan
DJP Bongkar Kasus Pencucian Uang Senilai Rp 58,2 Miliar
DJP Bongkar Kasus Pencucian Uang Senilai Rp 58,2 Miliar
Ekbis
QRIS Kini Bisa untuk Grab, Transaksi Digital Makin Mudah bagi Pengguna Muda
QRIS Kini Bisa untuk Grab, Transaksi Digital Makin Mudah bagi Pengguna Muda
Keuangan
ETF Emas Ditarget Rilis Sebelum Juni, BEI Masih Tunggu Aturan OJK
ETF Emas Ditarget Rilis Sebelum Juni, BEI Masih Tunggu Aturan OJK
Cuan
Pemerintah Siapkan Rp 180 Miliar untuk Diskon Angkutan Nataru
Pemerintah Siapkan Rp 180 Miliar untuk Diskon Angkutan Nataru
Ekbis
RI Belum Bisa jadi Negara dengan Ekonomi Syariah Terbesar Dunia, Kenapa?
RI Belum Bisa jadi Negara dengan Ekonomi Syariah Terbesar Dunia, Kenapa?
Syariah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau