
Dalam kerangka ini, paylater lebih dari sekadar teknologi pembayaran, ia adalah simbol pergeseran nilai di mana konsumsi instan dipandang wajar, bahkan ideal.
Baca juga: Penyerahan Benda Bersejarah oleh Belanda dan Beban Negara
Lebih jauh lagi, praktik konsumsi melalui paylater tidak terlepas dari dorongan sistemik yang diciptakan oleh algoritma dan strategi pemasaran digital.
Perusahaan platform memanfaatkan big data untuk memahami pola perilaku konsumen, lalu menawarkannya produk-produk yang dipersonalisasi melalui iklan, flash sale, atau program promosi eksklusif.
Mekanisme ini menciptakan dorongan psikologis untuk berbelanja secara impulsif, karena konsumen selalu dihadapkan pada narasi “kesempatan terbatas” atau “diskon hanya hari ini”.
Dalam konteks sosiologi konsumsi, ini adalah bentuk manufactured desire—keinginan yang direkayasa oleh sistem pasar.
Paylater hadir sebagai jembatan yang menghapus rasa bersalah atas belanja di luar kemampuan, karena pembayaran bisa ditunda.
Dengan demikian, masyarakat tidak hanya terperangkap dalam siklus konsumsi, tetapi juga dalam logika pasar yang merancang keinginan mereka secara sistematis.
Konsekuensi sosial dari pola ini cukup mendalam. Pertama, ia mendorong terbentuknya masyarakat yang hidup dalam siklus konsumsi–utang–konsumsi ulang, di mana utang menjadi normalisasi baru.
Kedua, ia memperkuat logika kapitalisme digital, karena setiap transaksi melalui paylater memperkaya basis data korporasi dan memperluas jejaring pengendalian terhadap perilaku konsumen.
Ketiga, ia menimbulkan diferensiasi sosial baru: mereka yang dapat mengakses paylater dengan limit tinggi dianggap lebih modern, lebih “kredibel” secara finansial, sementara kelompok yang gagal menjaga skor kredit akan terjebak dalam stigma digital.
Dengan kata lain, paylater beroperasi tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai mekanisme simbolik yang mengatur identitas dan stratifikasi sosial di era digital.
Di balik narasi mengenai budaya konsumtif, pertumbuhan utang paylater juga harus dibaca sebagai refleksi dari kerentanan ekonomi struktural.
Bagi banyak masyarakat, terutama di lapisan kelas menengah bawah, fasilitas paylater bukan sekadar pintu menuju gaya hidup urban, melainkan sarana untuk menutup kebutuhan dasar sehari-hari.
Laporan OJK menunjukkan bahwa pertumbuhan utang ini bukan hanya di sektor perbankan, tetapi juga sangat tinggi di perusahaan pembiayaan nonbank dan pinjaman daring.
Fakta ini mengindikasikan bahwa paylater telah merambah segmen masyarakat dengan daya beli rendah yang kerap terpinggirkan dari akses kredit formal.
Dalam konteks ini, utang digital muncul sebagai solusi pragmatis atas ketidakmampuan struktur ekonomi nasional menyediakan jaring pengaman yang memadai.
Konsep everyday coping strategy dalam sosiologi ekonomi dapat membantu membaca fenomena ini.
Baca juga: Purbayanomic: Ekonomi Tumbuh 6 Persen dengan Suntikan Rp 200 Triliun?
Masyarakat yang menghadapi stagnasi pendapatan, naiknya harga kebutuhan pokok, serta keterbatasan akses kredit konvensional terpaksa mencari jalan pintas melalui short cut economy berbasis utang digital.
Fasilitas paylater menawarkan kemudahan tanpa syarat rumit, berbeda dengan pinjaman bank yang memerlukan jaminan dan prosedur panjang.
Hal ini membuat paylater semakin populer, karena ia memberikan ilusi kontrol finansial meski kenyataannya justru menambah beban jangka panjang.
Strategi bertahan hidup ini menyingkap ketidaksetaraan struktural, di mana kelompok rentan menanggung risiko lebih besar akibat lemahnya daya tawar mereka di dalam sistem ekonomi digital.
Dari perspektif Amartya Sen dengan capability approach, fenomena ini menunjukkan bahwa keterbatasan akses keuangan formal menggerus kemampuan dasar masyarakat untuk menjalani hidup yang bermartabat.
Alih-alih memperluas capability masyarakat, sistem paylater justru berpotensi mempersempitnya, karena individu terjebak pada lingkaran utang yang mengurangi ruang kebebasan ekonomi mereka.
Masyarakat tampak seolah memiliki pilihan—apakah akan membeli barang/jasa dengan cicilan atau tidak—tetapi pilihan tersebut berlangsung dalam situasi yang timpang, di mana kebutuhan mendesak mendorong mereka masuk ke dalam jeratan finansial.