
Dengan demikian, paylater tidak bisa dilepaskan dari konteks ketidakadilan distribusi ekonomi yang lebih luas.
Konsekuensi sosial dari strategi bertahan berbasis utang digital ini cukup serius. Pertama, ia menciptakan beban psikologis berupa kecemasan atas tagihan yang menumpuk, sehingga memengaruhi kesejahteraan mental masyarakat.
Kedua, ia menimbulkan ketergantungan struktural: semakin sering masyarakat menggunakan paylater, semakin besar pula kemungkinan mereka terperangkap dalam spiral utang.
Ketiga, ia berpotensi memperlebar kesenjangan sosial, karena kelompok dengan literasi finansial rendah cenderung lebih rentan terhadap jebakan bunga dan penalti.
Dengan kata lain, di balik narasi “kemudahan akses keuangan” yang sering digaungkan, paylater justru memperlihatkan wajah lain dari kapitalisme digital yang memanfaatkan frustrasi ekonomi masyarakat untuk menopang pertumbuhan industri finansial.
Fenomena paylater di Indonesia menyimpan ambivalensi yang tidak sederhana. Di satu sisi, ia dapat dipahami sebagai simbol budaya konsumtif kelas menengah urban.
Fasilitas cicilan digital memberi peluang bagi kelompok ini untuk mengakses gaya hidup yang identik dengan modernitas—mulai dari belanja produk elektronik terbaru, wisata, hingga kuliner premium.
Dalam kerangka Bourdieu, konsumsi semacam ini bukan hanya soal kebutuhan praktis, tetapi juga sarana untuk membangun distinction, yakni membedakan diri dari kelompok sosial lain.
Dengan paylater, kelas menengah bisa mempertahankan status simbolik mereka tanpa harus menunggu kesiapan finansial.
Baca juga: Ke Mana Arah Rupiah?
Namun di sisi lain, paylater juga menjadi cermin dari frustrasi ekonomi kelompok masyarakat bawah. Alih-alih digunakan untuk barang-barang mewah, fasilitas ini kerap dipakai untuk kebutuhan mendesak: membayar listrik, membeli kebutuhan pokok, atau sekadar menjaga kelangsungan aktivitas harian.
Bagi kelompok ini, paylater bukan instrumen gaya hidup, melainkan strategi bertahan dalam situasi pendapatan yang stagnan dan biaya hidup yang terus meningkat.
Ambivalensi ini menunjukkan bahwa paylater beroperasi pada dua level berbeda: sebagai medium aspirasi kelas menengah dan sebagai penopang kehidupan kelas bawah.
Ambivalensi ini memperlihatkan bagaimana satu instrumen finansial dapat menampung makna sosial yang bertolak belakang.
Masyarakat kelas menengah memandang paylater sebagai jalan pintas untuk terus terkoneksi dengan simbol kemajuan, sementara masyarakat kelas bawah melihatnya sebagai jaring pengaman darurat.
Kedua dimensi ini sama-sama sahih, tetapi juga sama-sama mengandung risiko. Pada titik inilah, paylater memperlihatkan dirinya sebagai fenomena sosial yang lebih kompleks daripada sekadar mekanisme kredit. Ia adalah arena pertemuan antara aspirasi simbolik dan kebutuhan material.
Dengan demikian, membaca paylater semata-mata sebagai gejala konsumerisme jelas tidak cukup. Demikian pula, memandangnya hanya sebagai strategi survival juga mengabaikan dimensi simbolik yang melekat pada praktik konsumsi digital.
Ambivalensi ini mengharuskan kita untuk memahami paylater sebagai fenomena yang berada di persimpangan: ia adalah instrumen kapitalisme digital yang mengokohkan budaya konsumsi sekaligus refleksi dari kerentanan ekonomi yang struktural.
Kesadaran akan ambivalensi inilah yang penting untuk merumuskan analisis kritis dan kebijakan yang lebih adil terhadap fenomena ini.
Maka, memahami paylater menuntut kita melihatnya sebagai fenomena sosial, bukan sekadar mekanisme finansial.
Ia adalah bagian dari proses financialization kehidupan sehari-hari, di mana pengalaman manusia—dari belanja kebutuhan pokok hingga menjaga status sosial—dikelola melalui instrumen utang digital.
Konsekuensinya adalah lahirnya bentuk kontrol sosial baru, berupa skor kredit, bunga, dan penalti yang mengatur perilaku masyarakat.
Dalam kerangka ini, paylater sekaligus memperlihatkan wajah kapitalisme kontemporer: ia menawarkan kebebasan konsumsi, tetapi juga memperdalam relasi kuasa yang membatasi pilihan nyata individu.
Jalan keluarnya bukan hanya regulasi teknis, melainkan juga refleksi kritis atas arah masyarakat yang sedang dibentuk oleh logika pasar digital—apakah menuju keadilan sosial, atau justru menuju ketergantungan yang kian dalam.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang