JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat menyoroti sistem outsourcing atau alih daya setelah Undang-Undang Cipta Kerja.
Mirah mengatakan, banyak ditemutkan praktik alih daya atau outsourcing yang menyimpang dari peraturan perundangan-undangan ketenagakerjaan.
“Kemudian terbit UU Omnibus Law Cipta Kerja, dalam UU tersebut istilah outsourcing diganti menjadi alih daya. Dalam UU tersebut sudah tidak lagi membatasi lima jenis pekerjaan saja yang boleh dialihdayakan atau outsourcing seperti terdapat dalam UU Ketenagakerjaan 13 Tahun 2003,” kata Mirah dalam keterangannya, Selasa (6/5/2025).
Baca juga: Kisah Sedih Pekerja Outsourcing: Kami Sama-sama Bekerja, tapi Tak Sama Sejahtera...
Ilustrasi perusahaan outsourcing. Apa itu outsourcing? Outsourcing adalah metode perekrutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.Mirah menyebutkan, izin pendirian outsourcing juga tidak sesuai aturan yang ada.
“Seperti contohnya ada koperasi yang izin pendiriannya simpan pinjam dan bukan berbentuk PT, tapi pada praktiknya malah menjadi bisnis pengerah tenaga kerja,” ujar Mirah.
Berdasarkan temuan Aspirasi, pekerja outsourcing juga digaji di bawah upah minimum provinsi (UMP).
“Tidak ada jaminan sosial, dalam hal ini pekerja atau buruh tidak mendapatkan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,” kata Mirah.
Baca juga: Bobroknya Outsourcing, Menaker: Pekerja 40-50 Tahun Kerja Tanpa Karier, Gaji UMP...
Selain itu, tidak ada kebebasan berserikat sebagai sarana untuk memperjuangkan hak pekerja sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
“Sangat mudah di-PHK dan tidak diberikan uang pesangon sehingga tidak ada masa depan. Tidak ada jenjang karier di perusahaan. Tidak mendapatkan pelatihan di tempat kerjanya,” ujar Mirah.