
LONJAKAN utang paylater di Indonesia beberapa tahun terakhir, menghadirkan keprihatinan sekaligus tanda tanya besar.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperlihatkan tren yang konsisten meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2024, utang paylater masyarakat telah menembus Rp 30,36 triliun. Memasuki 2025, angkanya terus melonjak: Februari tercatat Rp 21,98 triliun di perbankan, lalu meningkat tajam menjadi Rp 30,47 triliun pada Mei.
Hanya dalam satu bulan, Juni 2025, utang ini naik lagi menjadi Rp 31,55 triliun.
Pertumbuhan Buy Now Pay Later (BNPL) tahunan (year-on-year) pun tergolong tinggi, antara 26 hingga 37 persen, bahkan lebih dari 56 persen di antaranya ada di perusahaan pembiayaan nonbank.
Fenomena ini memperlihatkan paradoks: di satu sisi, paylater dianggap memberi akses mudah bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan konsumsi.
Namun di sisi lain, lonjakan ini menandakan adanya pergeseran pola hidup yang ditandai oleh ketergantungan pada utang digital.
Baca juga: Kesehatan Mental Gen Z Kunci Masa Depan Kita (Bagian I)
Pertumbuhan puluhan triliun rupiah dalam waktu relatif singkat memperlihatkan betapa cepatnya masyarakat menyerap instrumen keuangan baru ini, meskipun konsekuensinya belum sepenuhnya dipahami oleh banyak pengguna.
Masalah mendasar yang perlu digarisbawahi adalah bahwa paylater bukanlah sekadar instrumen finansial netral.
Kehadirannya terikat erat pada transformasi kapitalisme digital yang mendorong masyarakat untuk berbelanja lebih banyak, lebih cepat, dan lebih sering.
Dengan kata lain, paylater telah menjadi bagian dari struktur sosial baru di mana konsumsi dan utang saling menguatkan.
Pertumbuhan utang yang masif menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya terdorong oleh keinginan konsumtif, tetapi juga oleh kebutuhan yang tidak terpenuhi akibat keterbatasan daya beli.
Dalam konteks ini, pertanyaan utama yang layak diajukan bukanlah sebatas “berapa besar pertumbuhan utang paylater?”, melainkan “mengapa masyarakat begitu cepat terjerat di dalamnya?”.
Pertanyaan tersebut membuka ruang analisis sosiologis lebih dalam: apakah paylater mencerminkan budaya konsumtif yang kian melekat pada kelas menengah urban, atau justru menyingkap strategi bertahan hidup kelompok rentan di tengah tekanan ekonomi?
Dengan melihatnya dari perspektif ini, kita bisa memahami paylater bukan sekadar fenomena finansial, melainkan gejala sosial yang lebih kompleks.
Transformasi konsumsi di Indonesia dalam satu dekade terakhir tidak bisa dilepaskan dari ekspansi masif ekonomi digital.
Pertumbuhan e-commerce, aplikasi transportasi daring, hingga platform layanan pesan-antar telah mengubah cara masyarakat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kehadiran paylater menjadi simpul penting dalam ekosistem ini, karena memungkinkan masyarakat melakukan transaksi tanpa hambatan modal tunai.
Dengan sekali klik, pengguna bisa mengakses barang dan jasa yang sebelumnya membutuhkan perencanaan finansial lebih panjang.
Perubahan ini menunjukkan bagaimana teknologi keuangan (fintech) tidak sekadar menyediakan instrumen pembayaran, tetapi juga membentuk habitus baru masyarakat urban—suatu habitus yang ditandai oleh normalisasi utang sebagai bagian tak terpisahkan dari aktivitas konsumsi.
Budaya instan yang melingkupi kehidupan masyarakat digital semakin memperkuat penetrasi paylater.
Zygmunt Bauman dalam gagasan liquid modernity menggambarkan masyarakat modern sebagai entitas yang serba cair, cepat berubah, dan berorientasi pada kepuasan instan.
Paylater adalah instrumen yang mewujudkan logika ini: ia menyingkirkan hambatan temporal antara keinginan dan pemenuhan, sehingga konsumen tidak perlu menunda kepuasan.
Dengan fasilitas cicilan tanpa kartu kredit, promosi bunga rendah, dan limit yang relatif mudah diperoleh, paylater menanamkan pola pikir baru bahwa konsumsi tidak harus menunggu kesiapan finansial.